Date: Thu, 17 Oct 2002 19:25 +0200
To: Nasional <national@mail2.factsoft.de>
Subject: Re: [Nasional] WNI Keturunan Arab dan Islam Radikal di Indonesia
Broadcast: Thu Oct 17 19:51:03 2002 as Nasional 009467
Teman-teman,
saya turut menyambut hangat gairah teman-teman mengecam aksi-aksi teror, khusus yang dilakukan oleh gerombolan pseudo-Islam yang menggunakan kedok agama untuk memperdaya bagian rakyat yang tidak sempat bersekolah yang memadai. Sungguhpun demikian, saya pikir tidak seyogyanya meninggalkan asas kehukuman dalam tatanan demokrasi, yaitu yang menuntut adanya bukti nyata untuk setiap dakwaan kongkrit.
Salah-salah, kalau lantaran kecerobohan kita ini malah menghukum orang yang bukan pelaku sebenarnya -- biarpun betapa negatifnya penampilan oknum bersangkutan itu di mata kita -- tetap saja akan berarti bahwa kita "membantu" penjahat yang sebenarnya untuk lolos, dan dengan demikian kita menyalahi para korban serta sanak-saudaranya.
Ada dua gejala yang agak mengkhawatirkan saya pada saat ini:
  1. peledakan bom di Bali tidak disertai bunuh-diri si pembom yang menganggap diri "korban syahid"; dan 
  2. tidak ada pernyataan pengakuan dari organisator pemboman, sebagaimana semestinya jikalau mereka memaksudkan pemboman itu sebagai "pelajaran" bagi khalayak ramai berkenaan dengan lokalitas hiburan yang mereka anggap tidak senonoh.
Gelagatnya, ini bukan perbuatan orang yang dikenai brainwashing sekte keagamaan fundamentalis untuk mengira dirinya melakukan perbuatan yang penuh amal suci, melainkan lebih menunjuk kepada perbuatan orang yang sadar dirinya melakukan tindakan pidana sehingga berupaya menyembunyikan identitas dirinya, malah mengharapkan pihak lain kena curiga.
Yang demikian di Indonesia sudah cukup banyak contohnya: pembunuhan misterius, penculikan/hilang misterius, pembunuhan mahasiswa Trisakti, pemerkosaan perempuan turunan Tionghoa, dan banyak lagi yang lain. Yang terbaru: penembakan misterius tiga orang di Timika kemarin ini.
Yang lebih aneh lagi: setelah begitu telaten mengatur bom sebesar itu meledak ditempat tertentu, kok malah menjatuhkan surat kartu penduduk supaya mudah ketahuan....
Tapi terlepas dari apakah benar tindakan teroris di Bali itu pekerjaan al-Kaida/gerombolan pseudo-Islam pribumi, ataukah tindakan teroris pihak lain, maka perhatian umum terhadap gerombolan pseudo-Islam yang ekstremis itu telah juga berkonsekuensi positif. Yang paling menggembirakan, NU dan Muhammadiah makin menyadari keperluan menggalang persatuan umat Islam Indonesia, untuk bersama-sama menghadapi bahaya penyelewengan ajaran agama oleh oknum luar, jangan sampai menjadi korban rongrongan "divide et impera" vested interest asing.
          
> Dalam seminar "Arab dan Islam di Indonesia Dewasa Ini"
> yang diselengarakan PP Muhammadiyah padahari Rabu
> 9 Oktober 2002 , pimpinan NU dan Muhammadiyah
> menyatakan kekuatirannya akan aksi-aksi radikalisme
> Islam yang dipimpin oleh para WNI keturunan Arab di
> Indonesia , ..................
Sungguhpun demikian, kita harus juga hati-hati. Sebagaimana tidak benarnya kalau kemarin memojokkan kawan setanah-air yang turunan Tionghoa untuk dikambing-hitamkan gara-gara kesulitan ekonomi, maka begitupun tidak boleh menganaktirikan kawan setanah-air yang keturunan Arab. Yang perlu menjadi sasaran itu bukkan warna kulit atau ciri etnik apapun lainnya, melainkan pokok masalah yang bersangkutan: dalam hal ini fundamentalisme agama, dan penyalah- gunaan agama untuk melakukan teror.
          
> Kalau melihat sejarah pergerakan Islam di Indonesia , komunitas
> warga Arab sejak lama memang menganut sikap eksklusivme
> yang berlebihan , mereka menganggap ras mereka lebih unggul
Boleh jadi. Tapi yang demikian ada juga di kalangan Indo, turunan Tionghoa, dan lain-lain, termasuk juga sementara lingkungan ningrat pribumi. Maklum, pada zaman penjajahan mereka diberi status lebih "tinggi" ketimbang penduduk bumiputera. Tidak berarti bahwa itu baik, atau tidak perlu diungkit-ungkit. Tapi dapat dimengerti pangkal- mulanya, dan perlu ditanggulangi dengan jalan yang waras, bukan dengan antagonisasi segenap kelompok etnik itu.
Memang dalam kenyataan, pada tahun-tahun 1930-an dan bahkan lebih dulu dari itupun, ada juga gerakan dari kelompok-kelompok etnik itu, baik yang Indo atau turunan Tionghoa, begitupun yang turunan Arab, yang konsekuen menyokong dan bahkan bersatu dengan gerakan kemerdekaan nasional. Lepas dari itu, pada periode yang sama itupun ada lapisan turunan Arab cukup luas yang bercitra rohani amat liberal dan modernistis, samasekali berkebalikan dengan sikap-sikap fundamentalis Islam yang di-klisye-kan. Satu contoh, dalam suratkabar "Alyaum", terbit di Surabaya pada tahun 1936, yang langganannya terutama orang turunan Arab di kota tersebut, ada muatan sebagai berikut:
<< Ville Lumière... im groszen und ganzen... Groszstadt Soerabaja... moehoen toeroet bernjanji
symphonie dari kota kota doenia. Sebetoel djoega, Soerabaja jang sanggoep menoendjoekkan
export jang besar, selajaknja pretendeert, mengakoei diri sebagai satoe metropool. Grootstad idee...
Kota kampioen dari king voetbal, bolwerk poesat pergerakan Priboemi. Kota dagang wahid...
Soerabaja, baanbreekster dalam segala galanja. Cumulatie dari segala misdaden poela. Soerabaja,
— Wein, Weib und Liebe, und der Stadt Heirateten.>>

[sumber: Kwee Kek Beng, "Westersche invloeden op het Maleisch",  
Koloniale Studiën 20 (1936), 89–109]  
      
Nah. Tidak cocok, kan, kalau diukur dengan klisyee "sepuluh-duabelas", "Hadramaut", apalagi "fundamentalis"? Padahal itu tahun 1936!! Dan ini tulisan dalam satu suratkabar, artinya bukan gejala terpencil satu oknum ganjil sendiri.....
Memang bahaya yang didatangkan oleh oknum-oknum yang menyusup masuk dari luarnegeri itu sangat akut. Akibat krisis ekonomi, rakyat banyak yang miskin. Oleh politikus tertentu yang pribumi saja pun mudah dimanipulasi untuk jadi tenaga demonstrasi bayaran untuk setiap keperluan. Apalagi kalau ada pendatang dari Timur Dekat dengan membawa modal uang lebih besar lagi. Lepas dari itu, rakyat yang bingung di tengah kemelut bertahun-tahun ini mudah juga dimanipulasi secara ideologis, sehingga macam-macam petualang berkedok "agama" mudah melakukan gerpolnya.
Maka melawannya pun harus dengan kongkrit menunjuk kepada ciri-ciri kongkrit, khususnya pemakaian bentuk-bentuk fundamentalisme agama untuk menghasut orang melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Jangan kita buat pencirian yang lebih merata yang mengenai kelompok etnik luas, karena berarti memperbanyak jumlah musuh, mengurangi jumlah sahabat. Jangan sampai ada kawan setanah-air didiskriminasi gara-gara dianggap punya tampang Arab....
Salam, Waruno


Index