Sent Tue, 13 Feb 2001 to Wahana list <wahana@mail.centrin.net.id> 
circulated there: Wed, 14 Feb 2001 08:13:25 +0700.
(reeditted to elliminate typos)
________________________________________________


        > Bersama ini kami forward tulisan saudara Bonnie Setiawan. Kami akan senang
        > sekali bila ada komentar pendek dari jauh dari saudara Waruno Mahdi
Terimakasih untuk ajakan berdiskusi ini. ....<cut>....
        > MENGAPA GUS DUR MASIH SATU KUBU DENGAN KEKUATAN PRO-DEMOKRASI?
Menurut tanggapan saya, Gus Dur sebagai tuanrumah persetujuan Ciganjur dulu itu termasuk salah satu pendorong awal koalisi reformasi. Jadi, mungkin yang sebenarnya perlu ditanyakan, "apakah kekuatan yang pernah turut dalam gerakan pro-demokrasi itu masih tetap satu kubu dengan Gus Dur?"
        > 1. Gus Dur naik sebagai presiden karena polah akrobat politik poros tengah
        > (dan Golkar) yang tidak ingin naiknya PDI-P dan Megawati (meskipun pemenang
        > Pemilu). 
Terus terang, walaupun saya menjelang pemilihan Presiden itu konsekuen terus menjunjung pencalonan Mega sebagai Presiden, tetapi pilihan saya itu bersih pragmatis: Yang ada secara real waktu itu pilihan antara Mega dan Habibie. Itu jelas: memilih Habibie berarti status quo dipertahankan, kalau mau lain dari itu harus pilih Mega.
Kemudian menjelang hari pemilihan presiden itu posisi Habibie goncang, dan beliau praktis mengundurkan diri. Saya ingat masih sempat secara tergopoh-gopoh mengeluarkan satu email ke beberapa milis semalam sebelum pemilihan, untuk menegaskan adanya perubahan situasi: pilihannya sudah bukan antara reformasi dengan status quo (Mega/Habibie), melainkan antara dua calon reformasi yang setara (lih. sini).
Dalam hati, saya saat itu lebih setuju kalau Gus Dur jadi presiden, karena beberapa sebab: 
(1)  beliau seorang politikus yang lebih pengalaman ("kawakan"), dengan barisan pengikut yang lebih kompak,
(2)  beliau menutup peluang kepada status quo untuk menyalahgunakan isu agama Islam untuk menentang reformasi,
(3)  ujian berat berupa keputusan pragmatis dalam serantaian dilema-dilema yang pasti bakal menghadapi presiden itu kalau presidennya Mega relatif pasti menggoncangkan kekompakan PDI-P sehingga meremukkan partai basisnya presiden reformasi.
Artinya, dengan adanya Gus Dur sebagai presiden, beliau bagaikan alat penyerap halilintar sehingga Mega lebih leluasa menggalang persatuan dalam massa pro-reformasi yang terkumpul dalam PDI-P sehingga dengan demikian gerakan reformasi tidak remuk redam seperti mestinya kalau yang jadi presiden kemarin Mega. Ini satu situasi unik dan kita perlu bersyukur dengan adanya konstelasi ini. Wadah politik terbesar dalam gerakan reformasi di satu pihak berperan besar dalam proses pemerintahan, dilain pihak luput dari kedudukan sebagai sasaran pokok serangan kalap yang konyol dari pihak status quo......
Wong, apa bagusnya bagi Mega, kalau dapat jadi presiden, terus cepat harus menyerah karena massanya belum sempat dikonsolidasi kocar-kacir. Kekompakan kemarin itu cuma emosi. Begitu masuk kehidupan sehari-hari (seperti pengepungan terhadap Gus Dur sekarang ini), akan lain riwayatnya.
        >           Mereka punya harapan bahwa dengan naiknya Gus Dur, maka politik
        > sektarian akan bisa dikedepankan, sementara Golkar berharap agar Gus Dus
        > cukup ramah dengan status-quo. 
Saya dapat kesan, bahwa kekecewaan Mega waktu tidak sampai terpilih itu kemungkinan besar ikhlas dan kecewa benar. Tetapi sesungguhnya, beliau waktu itu harus gembira, dan cuma menunjukkan kekecewaan untuk sedikit melipur kebingungan massa yang tidak mengerti permainan politik tingkat tinggi..... Entah, apakah beliau meyadari situasi itu.
Sesungguhnya, pemilihan Gus Dur itu antara lain juga berkat kelihaian Amien Rais, dan mestinya beliau ini mendapat pujian buku-buku sejarah kelak. Hanya sayang, rupanya Amien Rais sendiri tampaknya tidak memahami. Sesungguhnya, waktu saya lihat kejadian dibalik layar pemilihan Gus Dur, saya tercengang dengan kelihaian Amien Rais itu, karena sesungguhnya beliau waktu itu berhasil memperdayakan partai-partai status quo dalam "poros", yaitu "memperalat" suara-suara mereka untuk menciptakan konstelasi paling optimal dari segala kemungkinan real yang ada bagi reformasi: Yang jadi pucuk barisan kekuatan reformasi itu Gus Dur, politikus kawakan yang tabah dan tangkas menangkis serangan-serangan lawan politik, sedangkan barisan kuantitatif terbesar yang kualitatif agak aneka-ragam PDI-P terelak dari serangan pokok dan dapat peluang berkonsolidasi dulu. Kemudian lagi, pasukan lawan terbesar "terkurung" dalam "poros" yang dipegang oleh wakil ketiga "triumvirat" Ciganjur. Optimal benar, kan?
Tapi sayang, Amien Rais rupanya salah mengerti. Sesungguhnya, "Problem" yang ada itu bukan "Problem Gus Dur", melainkan "Problem Amien Rais". Beliau sendiri kemarin, walaupun lihai benar berpolitik, tapi masih terlalu muda dan "panasan", artinya belum sepenuhnya berprofil "negarawan" yang perlu sebagai presiden. Itu tidak apa-apa, semua orang pun mesti belajar. Syukur ada sekutu lebih tua dengan adanya Gus Dur. Di sinilah kemudian Amien Rais bikin kekeliruan fatal. Segala kesulitan Gus Dur ini bukan karena "rogue elements" terlalu ampuh. Gus Dur sampai kewalahan dengan mereka itu termasuk akibat tikaman dari belakang dari Amien Rais.
Yang rupanya tidak dipahami oleh Amien Rais, kalau beliau sendiri satu hari mau jadi presiden (memang demikianlah perhitungannya waktu memajukan Gus Dur kemarin), maka itu hanya bisa berhasil apabila reformasi berhasil secara sukses besar, dan beliau menjadi unsur menentukan dalam barisan reformasi dibawah pimpinan Gus Dur. Artinya, Amien Rais hampir pasti bisa menjadi presiden, kalau Gus Dur sukses dan Amien Rais dalam pada itu tercatat di rakyat sebagai pendukung Gus Dur itu.
Tetapi kalau Gus Dur sampai jatuh, dan Amien Rais tercatat termasuk kekuatan yang menjatuhkannya, maka boleh dipastikan 100%, segala harapan untuk bisa menjadi presiden pada satu ketika kelak itu tertutup TUP. Mustahil, ada calon bisa jadi presiden kalau itu ditentangi mati-matian sekaligus oleh PDI-P dan PKB ! Perkecualian hanyalah kalau terjadi restorasi kediktatoran militer a la orba, dengan Amien Rais sebagai boneka yang demajukan ke kursi formal "presiden". Sangat saya ragukan beliau gembira dengan peran boneka. Selain itu beliau cukup pintar untuk menyadari bahwa variasi restorasi semacam orba berarti kehancuran bagi Indonesia dalam segala segi. Apa enaknya, masuk sejarah sebagai presiden saat kehancuran total negerinya.
Amien Rais bagaimanapun juga politikus yang berbakat, karena itu melihat beliau masuk perangkap yang dipasang olehnya sendiri itu cukup menyedihkan. InsyAllah ada jalan mengelak diri dari perangkap itu, tapi saya, yang terus terang bukan politikus lihai, tidak melihat.
        > 2. Sejak Gus Dur naik, ternyata paham politiknya tidak bersesuaian dengan
        > poros tengah dan Golkar. Banyak celotehan Gus Dur yang membikin merah
        > telinga mereka. 
Hasil penghancuran sistem pendidikan di Indonesia oleh orba, maka taraf didikan sangat menyedihkan. Gus Dur seorang politikus Indonesia yang amat luas horizonnya, boleh dikatakan "terlalu cendekia" untuk satu masyarakat hasil didikan orba itu. Tetapi ini tidak berarti di Indonesia tidak cukup banyak orang berpendidikan, termasuk juga di kalangan sementara partai poros tengah dan golkar (ketawa-ketawa dengar lelucon Habibie, tapi itu orang yang tahu dunia lho, belum lagi sejumlah menteri dari partai poros dan golkar yang pernah lama studi di luarnegeri). Karena itu, kemerahan telinga mereka dengan "celotehan" Gus Dur itu cuma sandiwara untuk mengeksploitir ignoransi hasil didikan orba dalam masyarakat.
Tapi lambat laun mereka akan terpaksa meninggalkan garis ignorantisme dan obskurantisme itu, karena segala sumber dan sarana ekonomi Indonesia toh sudah hampir lengkap dalam tangan orang asing. Kalau ignoransi dalam penduduk lebih dilanggengkan lagi, ya kenapa tidak langsung saja mengubah nama Jakarta jadi Batavia dan minta sama ratu Nederland agar sudilah mengangkat gubernur jenderal. Sekurang-kurangnya bisa santai menikmati ketenteraman hidup berkacung "jaman normal" dulu, kan? ;-)
        > sekarang ini Indonesia kembali punya presiden yang bisa mencerdaskan
        > publik, sejak pidato-pidato Bung Karno dahulu kala. 
Benar. Setuju.
        > yang ingin mengulangi "Senayan Mei 1998", tetapi gagal. Kini, dengan massa
        > mahasiswa (BEM dan KAMMI), ternyata cukup mujarab untuk memperdaya publik,
        > seolah-olah sudah habis legitimasi Gus Dur. Ditambah lagi para komentator
        > elit dan naif yang menjadi speaker dan beo saja dari manipulasi media.
Kita sangkin asyik memuji Gus Dur, lupa mengeritik. Padahal kewajiban solidaritas itu selain dukungan morel juga menunjukkan sementara titik lemah.
Gerakan reformasi itu satu gerakan rakyat yang kemarin memaparkan dada terhadap bayonet orba untuk melengserkan Soeharto. Tanpa masa, segenap politikus reformasi selengkapnya itu seperti daun kering saja, kalau TNI memutuskan menghembus keras-keras. Gus Dur sangat mahir membingungkan lawan politik dengan ketajaman akal dan lidah, tetapi itu sekaligus juga membingungkan massa pendukung reformasi. Gus Dur terlalu percaya akan keampuhan siasat politik, kurang memperhatikan bahwa seluruh keampuhan itu adanya semata-mata selama ada cadangan kekuatan massa sebagai basis yang tidak dilihatkan. Kekuatan yang sesungguhnya ya massa itu.
Dalam keadaan dikepung seperti sekarang ini, Gus Dur semestinya berbicara dengan rakyat. Menjelaskan keadaan kepadanya secara gamblang dan lumrah (seperti Bung Karno dulu mahir sekali). Mereka lagi bingung, mau diberitahu apa yang harus mereka perbuat. Ajaklah massa rakyat untuk sama-sama dengan presidennya membela reformasi. Supaya rakyat tidak panik sendiri, bergerak secara liar seperti di Surabaya kemarin ini. Yang penting lagi, jangan semata-mata menggerakkan masa NU (misalnya liwat saluran konco-konco lama dalam PKB). Yang perlu memanggil kepada rakyat itu bukan mantan tokoh NU, melainkan Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi!!!!! dan yang perlu di panggil itu bukan sekadar Banser/Ansor atau massa NU lain, tetapi seluruh penduduk RI dari Sabang sampai Merauke.
Ini saya maksudkan benar-benar harfiah alias letterlijk: baik aktivis Aceh maupun aktivis Papua harus dipanggil supaya bersatu, menghadapi lawan bersama yang sesungguhnya. Begitupun orang Maluku Kristen maupun Islam. Apalagi massa PDI-P dan Muhammadiah. Hanya gara-gara Amien Rais bikin salah siasat itu tidak boleh menyebabkan dipertajamnya skhisma Muhammadiah/NU. Gus Dur harus tunjuk langsung dengan jari, mana lawan. Tak lupa juga, massa Sulawesi Selatan yang sampai sekarang sangat dilalaikan oleh kekuatan reformasi (itu barisan nasional yang termasuk yang paling dinamis di segenap Nusantara!). Jangan bingung kalau itu kebetulan banyak massa PPP-nya. Penting lagi, jangan menyangka Indonesia itu terbatas antara Selat Sunda dan Selat Bali. Di seberang sana masih banyak lho, pulau-pulau. Massa golongan manapun jangan boleh dianaktirikan, wong yang memanggil bukan kepala pesantren, melainkan, maaf saya tekankan sekali lagi: Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi. Sampaipun perajurit TNI, bilang panglima dalam bahaya!
Baru kita lihat nanti, kalau ngeroyok orang setengah buta, ya berani, apakah menghadapi massa rakyat juga berani?
Besok, pada jadwal pemilu berikut, kalau ternyata tidak puas dengan Gus Dur, silahkan "copot" dan gantikan dengan yang lain. Tetapi pilihan kemarin itu adalah koalisi luas untuk menegakkan negara hukum yang demokratis. Barang siapa sebelum waktunya sudah kecut dulu, meninggalkan koalisi, itulah yang besok harus ditagih tanggung jawabnya, karena memungkiri kewajiban yang telah ditugaskan kepadanya oleh massa pemilih itu.
Yah sekian dulu, surat ini sudah terlalu panjang sekali. Moga-moga telah ada satu dua hal yang bisa sekadar menjawab pertanyaan Bonnie Setiawan sedikit (moga-moga komentar pendeknya tidak kepanjangan :-).
Salam, Waruno


Index