Part 1: Thu, 13 Jan 2000 11:44
To: Irian Jaya List
Response to Andy Ayamiseba's comment
on my input of Mon, 10 Jan 2000 10:59
See also part 2 (below)
 
Bung Andy Ayamiseba yang terhormat,

terimakasih untuk tanggapan Bung yang sangat konstruktif dan juga untuk kepercayaan dan kerelaan Bung bertukar fikiran dengan saya.

> menghormatinya dan memujinya sebagai pernyataan seorang True Indonesian
> Nasionalist yg sangat menjunjung tinggi Persatuan Negara dan Bangsanya
> diatas se-gala2nya. Khususnya tentang soal Papua Barat dapat saya ikuti juga
> tulisan2 Bung yg sangat bertoleransi dengan Pengorbanan Bangsa Papua Barat
 

Terimakasih. Tapi kalau saya mau jujur, Bung terlalu membesar-besarkan "nasionalisme" saya. Sesungguhnya, saya cuma hasil pendidikan periode pra-Soeharto, dan terbiasa sejak muda untuk menganggap sukuisme atau tribalisme sebagai sesuatu jang negatif, dan solidaritas antara segenap sukubangsa Indonesia sebagai suatu kewajiban yang jelas dengan sendirinya. Begitupun, saya terbiasa oleh didikan di masa muda untuk menganggap orang Irian Barat itu sebagai kawan setanahair. Jadi, dalam tanggapan subyektif saya, barang siapa melukai orang Irian Barat, dia itu melukai orang Indonesia.

> 1. Argumentasi2 yg selalu dipakai sebagai Dasar Papua Barat adalah Bagian
> dari RI adalah se-mata2 Sejarah Hindia Belanda yg nota bene adalah Dasar2
> Kolonialis.
 

Ini sesungguhnya cuma alasan formal yang diajukan untuk membantah argumen formal yang menuduh Indonesia "mencaplok" Irian Barat (maaf saya sebut Irian terus, karena di masa muda saya, kata "Papua" itu dalam bahasa Melayu dianggap menghina; kalau dalam bahasa Inggeris tidak).

Namanya saja alasan formal, jadi tidak sepenting sebab-sebab hakiki yang justru itu, yang hakiki, yang perlu diperiksa lebih seksama.

> ............ Seyognya RI selaku Pelopor Dunia Ketiga dan Negara2 Non Blok
> dibawah Pemerintahan Alm Bung Karno membebaskan Papua Barat dari Jajahan
> Kolonialis
> Belanda dan memberi Kemerdekaan dan Kedaulatan Penuh pada saat itu juga. Itu
> akan membuktikan bahwa Indonesia adalah a True Pioneer dari Dunia2 Ketiga.
 

Ini kalau kita anggap orang Irian Barat itu orang asing. Soalnya, segala kejahatan rezim Soeharto yang membuat rakyat Irian Barat merasa diri asing itu baru terjadi belakangan. Pada waktu Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, orang Irian Barat tidak dianggap orang asing. Dan orang Irian Baratpun, seperti Lukas Rumkorem, yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di bumi Irian Barat, itupun tidak menanggap dirinya orang asing dibandingkan dengan Indonesia. Begitupun tahun 1962, Bung Karno tidak memandang orang Irian Barat sebagai orang asing, melainkan sebagai kawan setanahair yang dipisah secara paksa oleh pihak penjajah kolonial, dan kini bisa kembali bersatu dengan Indonesia lainnya.

> Sebaliknya RI mendasari Territorial Claimnya atas Dasar wilayah Perbatasan
> Kolonialis Hindia Belanda. Hal ini membuat RI dianggap sebagai suatu Negara
> Expansionist
 

Lihat di atas, Bung. "Indonesia" dan "Hindia Belanda" itu dua nama untuk cakupan wilayah yang sama. Baik dari pihak penglihatan Indonesia, yang diproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 itu seluruh Indonesia, bukan pilih kasih: sini diproklamasikan merdeka, sana tidak. Begitupun secara de jure dari pihak penglihatan Belanda berdasarkan pengumuman resmi letnan gubernur jenderal van Mook tgl. 21 September 1948 (Staatsblad van Indonesië 1948 no. 224) yang menyatakan istilah "Indonesia" itu menggantikan istilah lama "Nederlandsch Indie". Karena itu, kalau Indonesia berusaha untuk mengembalikan propinsinya, itu bukan ekspansi. melainkan ekspansi itu adalah yang mencaplok Irian Barat dari Indonesia dulu pada th. 1946. Indonesia cuma mengembalikannya, dan memang wajib begitu, karena itu sesungguhnya sesama warganegara yang masih meringkuk dibawah jajahan asing, yang perlu dibebaskan.

Cuma celaka, setelah dibebaskan, seluruh Indonesia bersama Irian Barat itu kecaplok rezim militer Soeharto.....

> ........... apalagi setelah Timor Leste diduduki yg sama sekali bukanlah
> bagian dari Hindia Belanda.
 

Benar, karena itu Timor Lorosa'e bukan bagian dari Indonesia, tidak pernah diakui bagian dari Indonesia baik oleh PBB, begitupun oleh Organisasi Negara Non-Blok. Sayapun sejak semula (1975) selalu mengecam pencaplokan Timor Lorosa'e oleh rezim Soeharto itu, dan secara konsisten menuntut pembebasan Timor Lorosa'e dari Indonesia.

> ............................ Hal ini juga dibuktikan dalam Proses
> Dekolonisasi bahwa apa yg menjadi Claim RI bukan selalu Benar.
 

Terutama waktu Indonesia dibawah kekuasaan rezim Soeharto. Tindakan Soeharto mencaplok Timor Lorosa'e itu bukan saja pelanggaran prinsip PBB, dan Negara Non-Blok, tapi terang-terang melanggar Lima Sila Konperensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung 1955, dan juga melanggar Undang-Undang Dasar RI 1945.

> 2. Kesalahan yg berikut adalah Perjanjian New York atau New York Agreement
> yg disponsori oleh USA dan ditanda-tangani oleh RI dan Belanda mengikat
 

Sesungguhnya ini tidak salah, Bung, karena waktu itu, semua pihak bisa melihat, bahwa Indonesia benar-benar dan secara ikhlas ingin memulangkan rakyat Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Dan memang, begitu itu terlaksana, rakyat Irian Barat mendapat sambutan hangat dari penduduk Indonesia lainnya. Sebelum itu saja (tahun 1962), pemerintah Indonesia mengangkat status geopolitis wilayah Irian Barat itu menjadi propinsi tersendiri. Langsung didirikan universitas pertama di Irian Barat (Universitas Cendrawasih). Putra-putri dari Irian Barat mendapat jatah lebih diberbagai perguruan-perguruan di seluruh Indonesia.

Jadi, baik pemerintah Sukarno yang memperjuangkan Irian Barat kembali, begitupun Nederland yang memberikannya kembali, dan begitu juga Amerika Serikat dan PBB yang memperantarai proses pengembalian itu, semuanya secara ikhlas membuat sesuatu untuk kebaikan orang Irian Barat. Tak ada yang menyangka, bahwa Soeharto akan merebut kekuasaan dan mengubah Indonesia menjadi neraka bagi orang Irian Barat dan banyak orang lain juga di Indonesia.

> Ketiga Negara tersbt dalam Pelaksanaanya yg terwujud lewat PEPERA  

"Pelaksanaan" PEPERA oleh rezim Soeharto itu satu penipuan besar dan samasekali tidak sah. Itu cara-cara negara penjajah kolonial, seperti halnya Nederland dulu mendirikan negara-negara boneka di daerah pendudukan antara 1946-1949. Bahwasanya satu pemerintah Indonesia di bawah Soeharto itu memperlakukan penduduk Indonesia seperti negeri penjajah memperlakukan penduduk negeri jajahan itu adalah suatu pelanggaran yang berat terhadap Undang-Undang Dasar RI, dan menurut saya, [jajak pendapat] itu harus diulangi kembali. Mungkin tahun 2003 nanti bisa, seperti diusulkan oleh Thom Beanal. Asal saja waktu itu keadaan di Indonesia sudah tertib dan demokratis, dan pemerintah dan rakyat di daerah-daerah tidak lagi dikenai intimidasi oknum-oknum sisa Orde Baru seperti sekarang.

> 3. Pemimpin2 Indonesia dan Pemimpin2 Dunia harus sadar bahwa jalan yg
> terbaik untuk menjamin Stabilitas di Region ini adalah Kemerdekaan Papua
> Barat.
 

Bung, justru inilah yang amat diragukan orang, dan sayapun sangat meragukannya. Soalnya, Irian Barat itu tidak lain daripada Indonesia secara keseluruhan. Di Irian Barat pun banyak sukubangsa besar dan kecil, yang tingkat perkembangannya serba aneka ragam, seperti di Indonesia pada keseluruhannya. Demikianpun antara sukubangsa-sukubangsa itu bisa ada pergesekan, dan kalau diprovokasi seperti di Maluku sekarang, bisa timbul huru-hara yang tidak kurang dahsyatnya. Tak ingin dan tak perlu saya menelaahnya secara mendetil. Bung sendiri pasti tahu, dan semua rekan yang pernah berdiam di Irian Barat cukup lama pun pasti tahu.

Begitupun peranan modal asing di Irian Barat itu tidak bedanya dengan peranan modal asing di Indonesia seluruhnya, malah lebih menyerupai situasi Indonesia pada dasawarsa 1950-an. Waktu itu, Bung Karno melihat, bahwa walaupun Indonesia sudah merdeka, dan kekayaan alam Indonesia sangat besar, tapi penghasilan dari kekayaan itu diterima bukan oleh rakyat Indonesia, melainkan oleh perusahaan-perusahaan asing (terutama Belanda). Lalu itu dinasionalisasi. Tapi hasilnya lebih jelek lagi, karena Indonesia belum punya tenaga ahli yang cukup untuk menjalankan perusahaan-perusahaan itu, akhirnya bangkrut, dan kekuasaan direbut oleh Soeharto.

Apakah Irian Barat mau begitu juga? Irian Barat itu sama dengan Indonesia pada tahun 1945, cuma dalam ukuran lebih kecil sedikit. Kalau sekarang dibuat merdeka, akan mengalami kesulitan persis sama dengan Indonesia 1950-1965. Memang maksud teman-teman sih baik, dan sangat mulia. Tapi percayalah, maksud bapak-bapak kemerdekaan Indonesia dulu itu begitu juga mulia dan ikhlasnya. Tak ada maksud mereka menjebloskan negeri kita dalam kesulitan 1950-1965, kemudian dalam kesengsaraan rezim Soeharto.

Tapi, segala pelajaran-pelajaran yang dibeli dengan harga mahal sekali itu kini sudah diperoleh, dan moga-moga sekarang bisa maju setapak lebih maju, memasuki periode demokrasi yang stabil yang menjamin rakyat kita bisa membangun kehidupannya dengan damai dan sentausa.

Nah, Irian Barat, walaupun tidak sempat mengikuti periode 1950-1963 (karena dipisahkan dari Indonesia oleh negeri Belanda), tapi kemudian turut kena getahnya, menderita pengalaman rezim Soeharto. Jadi, Orang Irian Barat ini telah turut membayar rekeningnya yang amat berat itu. Sudah sepantasnya, kalau rakyat Irian Barat sekarang boleh turut menikmati hasilnya yang telah dibayarkan itu, bukan?

Tetapi, kalau Irian Barat pisah, itu malah rugi. Hasilnya tidak dapat, tapi harus mulai dari nol. Ini pengalamannya sama di semua negeri yang baru merdeka, apakah itu di Asia atau di Afrika, apakah orangnya kulit sawomatang, hitam, kuning, putih, berbintik-bintik atau poleng, apa rambutnya keriting, kejat, berombak, atau botak, sama saja. Mula-mula kacau, dan baru setelah pengalaman cukup lama, bisa mencapai taraf perkembangan yang agak mantap. Jadi, kalau Irian Barat merdeka lepas dari Indonesia, maka masa mulanya pasti tidak akan stabil seperti yang Bung harapkan. Dan juga pasti mengalami kesulitan dalam penguasaan harta kekayaan alamnya.

Tetapi, kalau Irian Barat tidak lepas dari Indonesia, maka kesatuan sukubangsa-sukubangsa dari Sabang sampai Merauke ini merupakan suatu kekuatan yang lebih besar untuk menghadapi perusahaan-perusahaan internasional dan problem-problem globalisasi. Makin banyak kita bersatu makin kita kuat, makin kita bercerai-berai, Irian Barat sendiri, Aceh sendiri, dst., makin kita lemah. Indonesia dalam hal ini juga akan tambah lemah, tapi tambah lemahnya cuma sedikit, karena sudah melalui pelajaran-pelajaran dari 1945 sampai sekarang. Yang lain akan makin lemahnya banyak, karena mulai kembali dari nol....

Jadi, anjuran saya secara jujur dan ikhlas kepada segenap kawan setanahair saya di Irian Barat: janganlah pisah dari Indonesia, melainkan bersatulah dengan semua golongan reformasi di Indonesia untuk sama-sama mengalahkan oknum-oknum sisa Orba yang telah menganiayai kita semua, dan sama-sama membahu problem-problem haridepan dalam hal mengeksploitasi kekayaan alam, menjaga kemurnian lingkungan alam, menjamin kesejahteraan penduduk di semua pulau, dan mencegah jangan sampai ada minoritas etnik ataupun agama ataupun manapun juga sampai didiskriminasi lagi seperti di masa Soeharto.

Ini benar tidak ada sangkut-pautnya dengan nasionalisme, melainkan semata-mata suatu pandangan yang bersifat sosial dan wajar, bukan? Sekian dulu, ini sudah malam lagi, dan saya ditunggu orang.

Salam hangat, Waruno


 
Part 2: Sat, 15 Jan 2000 15:56 
To: Irian Jaya List
Response to Andy Ayamiseba
Back to part 1 (above)

 

Bung Andy Ayamiseba yang terhormat,

masukan saya dari kemarin dulu belum Bung jawab, dan dari Bung Vito pun belum ada respons. Tetapi saya tidak begitu sombong untuk mengira bahwa Bung berdua sudah "setuju sepenuhnya" dengan apa yang saya tuliskan itu. Rupanya, Bung akan mau mendiskusikannya dengan teman, dan perlu juga memeriksa hal-hal yang saya tuliskan itu, mengecheck sampai dimana benarnya (jangan-jangan saya ini bohong!).

Itu bagus, dan menunjukkan rasa tanggungjawab Bung. Karena Bung tidak punya kewajiban apa-apa kepada saya, melainkan semata-mata kepada rakyat Irian Barat. Dan upaya Bung untuk memeriksa segala-galanya dan mempertimbangkan segala-galanya dengan serius itu berarti Bung menunaikan kewajiban Bung itu dengan penuh tanggungjawab.

Hanya sayang, saya besok berangkat cuti ke luar kota, dan baru akan balik lagi awal Februari. Jadi, kalau nanti ada respons dari Bung, saya baru akan bisa melihatnya dan menyahut pada bulan depan itu. Karena itu, kesempatan sekarang ini masih ingin saya gunakan untuk melengkapi pandangan-pandangan yang saya kemukakan kemarin dulu.

Masalah paling serius yang telah Bung kemukakan itu adalah masalah kolonialisme. Undang-undang Dasar Indonesia pun dalam hal ini cukup jelas, yaitu:

   " Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan."     

Artinya, apabila kedudukan Irian Barat di dalam Indonesia itu benar-benar sebagai jajahan kolonial, maka setiap warganegara Indonesia dan setiap pemerintah Indonesia berkewajiban langsung untuk melepaskan Irian Barat dari Indonesia.

Jadi, masalah ini perlu diperiksa dengan serius dan seksama.

Pertama-tama, mungkinkan Indonesia itu negara kolonial? Kalau kita periksa selama periode rezim Soeharto, maka jawabannya terang "Ya". Rezim Soeharto melakukan agresi militer terhadap negeri tetangga di bagian timur pulau Timor, dan menganeksi wilayahnya sambil melakukan teror terhadap penduduknya untuk memaksanya tunduk.

Setelah Soeharto jatuh, berhasillah Timor Lorosa'e bebas kembali, tapi itu pun tidak begitu saja, karena oknum-oknum sisa Orde Baru itu masih kuat kedudukannya. Dalam proses melepaskan Timor Lorosa'e, seluruh infrastruktur dan 70% gedung-gedung hancur lebur dibuatnya. Seorang juru bicara TNI waktu itu memberi "alasan", bahwa yang rusak itu adalah hasil investasi dan pembangunan Indonesia di Timor Lorosa'e, jadi dianggapnya Indonesia boleh meniadakannya kembali. Dan ternyata, gedung-gedung penempatan satuan TNI di Timor Lorosa'e itu dihancurkan oleh satuannya sendiri pada saat meninggalkannya.

Perlu dicatat, bahwa selama penjajahan Belanda dulu, banyak infrastuktur dan instalasi industri yang dibangun oleh orang Belanda di Indonesia (jalan keretaapi dengan terowongan-terowongan dan jembatan-jembatan indah-indah, pelabuhan-pelabuhan kapal di Tanjung Priuk, Surabaya, dll.) begitupun istana-istana di Jakarta, Bogor, Cipanas, dan banyak lagi hal lain. Itu semua tidak dihancurkannya waktu mengangkat kaki dari Indonesia tahun 1949. Artinya, kolonialisme rezim Soeharto itu berkali-kali lebih jahat daripada kolonialisme Belanda. Kita orang Indonesia harus malu kepada orang Timor Lorosa'e, dan marah kepada oknum TNI itu yang membuat cemar nama bangsa Indonesia.

Soal kolonialisme rezim Soeharto tidak selesai di situ, melainkan secara langsung menyangkut Irian Barat juga. Yaitu, apa yang dinamakan "Penentuan Pendapat Rakyat" (PEPERA) tahun 1969 itu jelas merupakan cara jajak pendapat yang palsu yang dimaksudkan menipu dunia umum. Ini mirip dengan cara-cara orang kolonialis dulu, khususnya di Indonesia sendiri dalam hal pembentukan negara-nagara boneka untuk "menandingi" Republik antara 1946 dan 1949. Jadi dalam hal ini, rezim Soeharto telah memperlakukan rakyat Irian Barat itu sebagai penduduk negeri jajahan kolonial. Perlakuan penduduk RI dengan cara demikian itu melanggar Undang-undang Dasar, karena itu, PEPERA itu menurut saya pun perlu diulang kembali begitu suasana di Indonesia cukup tenang dan aman untuk memastikan rakyat bisa memberi suara dengan bebas tanpa diintimidasi oleh oknum-oknum sisa rezim itu.

Satu catatan kecil dalam soal desakan dari luarnegeri. Menurut hemat saya, desakan ini gunanya terutama untuk mengimbangi oknum-oknum sisa Orba, supaya pemerintah bisa bertindak seperlunya. Sedangkan campurtangan langsung itu nanti pasti ditolak oleh pemerintah, seperti halnya dengan pengadilan oknum yang menjalankan kejahatan di Timor Lorosa'e. Lagipun, bagi negeri-negeri demokrasi Barat dalam hal ini ada satu problem yang membuat mereka serba salah-kaprah kalau akan campurtangan terlalu keras.

Dulu, waktu Soeharto menjatuhkan Sukarno, mereka ramai-ramai menyambut Soeharto (maklum, waktu itu ada perang dingin, dan dunia Barat menganggap rezim militer Soeharto lebih efektif membendung komunisme). Maka dari itu PEPERA palsu yang dilakukan oleh rezim diktatur militer Soeharto itu secara resmi mereka sahkan. Sekarang mereka lihat ada pemerintah yang mau menegakkan demokrasi di Indonesia, dan mau mengatur persoalan dengan penduduk Irian Barat secara baik-baik, malah dicampurtangani? Serba salah kaprah, bukan? apalagi disahkannya PEPERA palsu 1969 itu bukan karena negeri Belanda dan AS itu "tertipu" melainkan mereka dulu tahu benar bagaimana prosedur palsu PEPERA itu, dan tahu permainan kasarnya rezim dalam pelaksanaannya. Saya pikir mustahil suatu pemerintah Nederland akan rela memungkiri perjanjian yang mengikat yang telah secara resmi disahkannya, begitu ada tiup angin ganti arah. Di negeri Belanda sendiri pun kalau dalam perkara sipil ada pihak yang pernah menandatangani perjanjian yang mengandung hal-hal palsu, kalau sejak semula sadar akan kepalsuannya dan tidak ada tekanan yang tidak sah untuk memaksanya menerima perjanjian itu, belakangan kiranya tidak akan dibenarkan untuk memungkiri perjanjian itu.

Dalam hal ini, pemerintah Amerika Serikat yang serupa kedudukannya (sebagai pengawas pelaksanaan Perjanjian New York itu) kini mengambil sikap yang tepat: dengan tidak ada lagi perang dingin, berusaha memperbaiki kesalahan lampau waktu mendukung rezim Soeharto itu dengan memberi dukungan kepada tenaga reformasi pada umumnya dan Gus Dur khususnya, dan membuat tekanan terhadap oknum-oknum sisa rezim Soeharto supaya jangan berani-berani mencoba come-back. Karena menyadari, dalam suasana demokrasi sejati di Indonesia, segala problem ketidak-adilan yang diciptakan oleh rezim Soeharto dulu berangsur-angsur akan dipecahkan secara demokratis dan sah, dengan mengindahkan hak asasi manusia penduduk yang bersangkutan.

Sekian dulu soal rezim Soeharto, itu masalahnya cukup jelas. Bagaimana sebelum dan sesudahnya?

Benarkah Indonesia menurutkan Irian Barat kedalam wilayahnya pada tahun 1945, dan mengembalikannya lagi tahun 1962 itu melakukan kolonialisme? Ini tidak berarti apakah kelompok ini atau itu mengalami kerugian ini atau itu, atau menderita dihisap (dieksploitasi) tenaga kerjanya. Bahwasanya di Indonesia dalam periode sebelum Soehartopun ada banyak kekurangan dalam hal keadilan sosial itu kita tahu dan tidak perlu pura-pura bahwa itu tidak ada. Bahkan diskriminasi pun ada, khususnya melawan orang keturunan Tionghoa (walaupun tidak separah seperti waktu Soeharto, tapi, misalnya penulis Pramoedya Ananta Toer itu sampai dipenjarakan karena menerbitkan buku yang mendukung orang Tionghoa itu adalah sebelum Soeharto berkuasa). Tapi dalam masalah kongkret soal kolonialisme ini ada dua aspek yang perlu diteliti.

Saya pikir, baik dilihat dari (1) prosedur penyatuan pulau-pulau dan kelompok-kelompok etnik kedalam negara kesatuan Indonesia, begitupun dilihat dari (2) kedudukan dan hak warga kelompok penduduk itu dalam negara RI sebelum perebutan kekuasaan oleh Soeharto, Indonesia tidak dapat dikhasiati sebagai negara kolonial. Mari kita periksa masing masing perihal ini.

(1)
Penurutan semua pulau dan segenap kelompok etnik yang dulu masuk Hindia Belanda itu kedalam Republik Indonesia saat Proklamasi 17 Agustus 1945 itu bukan tindakan sewenang-wenang atau seenaknya sendiri Bung Karno dan Bung Hatta, melainkan, manifestasi politik daripada kesatuan itu telah terbentuk secara sukarela selama dua dasawarsa mulai 1918. Dan itu dinyatakan secara resmi pada Kongres Rakyat Indonesia Desember 1939. Tak mungkin ada paksaan dari Bung Karno, karena beliau waktu itu sedang meringkuk dalam pembuangan di Bengkulu. Tak mungkin ada paksaan pemerintah pusat, karena pemerintah pusatnya waktu itu ya administrasi kolonial di Batavia yang tidak bisa disebut promotor kesatuan nasional bangsa pribumi.

Setelah Proklamasi pun, Bung Karno dan Bung Hatta tidak punya kekuasaan riel untuk "memaksa" wilayah ini atau itu untuk turut. Melainkan, rakyat dipelbagai pulau itu bangkit secara spontan membela Republik. Ini tidak dipaksa, dan tidak mungkin dipaksa karena Indonesia belum punya angkatan bersenjata selain rakyat yang telah mempersenjatai diri sendiri. Maka tidak saja di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku ada rakyat bangkit membela Republik. Di Irian Baratpun misalnya ada Lukas Rumkorem dengan teman-temannya.

Jadi, kalau ini diteliti secara benar, bukan Indonesia mengklaim wilayah-wilayah yang banyak itu, tetapi wilayah-wilayah itu secara spontan "mengklaim" dirinya masuk Indonesia. Tapi disana-sini ada politikus yang bersedia tetap mengabdi kepada Nederland (termasuk Frans Kasiepo di Irian Barat), sehingga berhasillah dibentuk negara-negara boneka itu. Tetapi begitu tentara Belanda meninggalkan Indonesia pada akhir tahun 1949 (kecuali dari Irian Barat), pemerintah bekas negara-negara boneka itu mendapat desakan kuat dari penduduknya sendiri untuk bergabung kembali dengan Republik, sehingga Agustus 1950 itu semuanya sudah bergabung satu. Begitukah negara kolonial merebut koloni? Jangan begitu saja percaya sama omongan saya. Periksalah sendiri dalam sumber-sumber sejarah!

(2)
Khusus perlu kita perhatikan kedudukan penduduk yang masuk ras berkulit hitam dan rambut keriting. Yang demikian ini adanya tidak saja di Irian Barat, tapi juga didaerah Indonesia lain. Dan selama Irian Barat belum masuk kembali ke Indonesia pada awal tahun 1963 itu pun, mereka di Indonesia tidak didiskriminasi, melainkan bebas bersekolah, belajar di universitas, jadi pegawai tinggi, gubernur, menteri kabinet, perwira tinggi, itu semua ada contoh-contohnya yang berkulit hitam rambut keriting, dan juga tidak sebagai perkecualian saja untuk dipajang-pajang untuk dilihat orang asing.

Setelah Irian Barat bergabung pun demikian. Gubernur Irian Barat pertama orang Irian yang notabene diangkat menjadi gubernur sebelum Irian Barat dilepaskan oleh Nederland, dan yang orangnya tinggal di Irian Barat yang masih diadministrasi oleh Nederland. Orang Irian pun bebas bersekolah, masuk perguruan tinggi, bahkan Irian Barat dapat universitas untuk pertama kalinya, yaitu Universitas Cendrawasih baru setelah masuk Indonesia kembali. Orang Irian pun ada yang masuk tentara, menjadi perwira, sampai mencapai pangkat laksamana (sekarang jadi menteri kabinet).

Sebagai perbandingan, periksalah: pernahkan ada orang Indonesia pribumi menjadi gubernur jendral Hindia Belanda? pernahkan ada orang Indonesia pribumi menjadi menteri kabinet Nederland? Nyata benarlah perbedaannya antara koloni dan propinsi! Jangan kan orang pribumi dan periode Indonesia masih jadi koloni Belanda. Belakangan, orang Belanda Indo yang pulang ke Nederland saja pun sampai sekarang masih mengeluh terus karena apa yang dinamakannya "glazen plafond" (loteng kaca, Inggeris: glass ceiling), yaitu suatu batas pangkat karier, dimana orang Belanda Indo di Nederland itu tak pernah bisa melampauinya. Ini orang kulit putih lho, bukan setengah sawomatang. Padahal Nederland itu negeri demokrasi bebas yang negara hukum. Begitulah kesudahan daripada kolonialisme, bahkan masih menjangkau ke belakang lama sekali setelah penjajahan langsungnya sudah berlalu, dan penduduk bangsanya sendiripun bisa kena getahnya.

Kalau Irian Barat itu koloninya Indonesia seperti halnya Indonesia dulu jadi koloni Nederland, mustahil Freddy Numberi bisa menjadi gubernur dan menteri kabinet. Padahal kenaikannya sampai menjadi laksamana dan gubernur propinsi itu bahkan dalam periode Soeharto!

Karena memang, penindasan brutal dan biadab yang terjadi terhadap rakyat Irian Barat itu bukan penindasan kolonial, melainkan penindasan diktatur militer rezim Soeharto, sama halnya dengan penindasan rezim tersebut terhadap rakyat Indonesia di bagian Indonesia lain. Begitupun pemalsuan "PEPERA" 1969, itu memang sudah menjadi khasiatnya rezim Orde Baru untuk melaksanakan setiap "pemilihan umum" itu sedemikian rupa, sehingga yang "terpilih" itu sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. "PEPERA" 1969 di Irian Barat itu cocok dengan segala "Pemilu" di seluruh Indonesia selama kekuasaan Soeharto itu.

Setiap penyakit ada obatnya. Obat A untuk penyakit A, obat B untuk penyakit B. Kalau orang sakit dikasih obat salah, tidak akan sembuh, malah bisa tambah parah penyakitnya. Kalau Irian Barat itu koloni Indonesia, lumrahlah bahwa obatnya harus perjuangan pembebasan antikolonial. Tapi kalau Irian Barat itu korban rezim diktatur militer, maka obatnya haruslah perjuangan bersama dengan tenaga reformasi lainnya untuk menghapuskankan sisa oknum-oknum rezim itu yang sampai sekarang masih bercokol diberbagai tempat di tanahair, khususnya juga di Irian Barat.

Sekarang, Bung bersama teman-teman Irian lain periksalah sendiri, mana jalan perjuangan yang tepat untuk rakyat Irian Barat.

Saya cuma masih perlu tambah sedikit, berkenaan dengan adanya huru-hara sektaris di Maluku, bisa ada kesan bahwa di Indonesia ada diskriminasi anti-Kristen. Mengingat penduduk Irian Barat banyak yang beragama Kristen, ini bisa mengkhawatirkan. Sesungguhnya, walaupun di Indonesia bagian terbesar penduduknya itu orang Islam, tetapi tidak ada diskriminasi terhadap orang Kristen seperti yang digembar-gemborkan sementara pihak provokator. Saya sendiri orang "krislam" yang tidak memihak. Selain saudara kandung saya ada yang Islam, ada yang Katolik, saya sendiri sejak menjadi anak kecil sampai dewasa pernah ke gereja dan pernah ke mesjid, di gereja bahkan pernah ikut nyanyi dalam kor pada waktu misa. Sekarangpun, doa Kristen sama hafalnya seperti sembahyang Islam.

Kalau diperiksa yang benar, jumlah prosentual orang Kristen yang berpendidikan tinggi, berkedudukan tinggi, atau berperusahaan atau kaya/mampu/menak dengan cara lain di Indonesia itu, dibanding dengan seluruh penduduk Kristen, itu jauh lebih tinggi daripada kalau kita lihat pada orang Indonesia beragama Islam. Begitupun orang Kristen (Protestan + Katolik) yang pernah menjadi menteri kabinet di Indonesia secara prosentual dengan jumlah keseluruhannya dalam penduduk itu berkali-kali lebih banyak daripada yang Muslim. Tidak adalah di dunia ini satu negeri bermayoritas Kristen dengan minoritas Islam sebesar minoritas Kristen Indonesia, yang mempunyai mesjid disetiap kota dan sama banyaknya, seperti gereja di Indonesia, atau yang pernah punya menteri kabinet Islam sebanyak menteri kabinet Kristen di Indonesia, yang punya jendral dan laksamana Islam sebanyak yang Kristen di Indonesia (segalanya secara prosentual jumlah penduduk).

Jadi, dalam hal inipun nyata, bahwa pembakaran gereja dan tindakan tindakan lain yang mendiskriminasi orang Kristen disana-sini sejak tahun 1966 itu bukan diskriminasi Islam Indonesia terhadap Kristen, tapi satu lagi aspek jahanam rezim militer Soeharto dan sisa-sisa oknumnya yang sampai sekarang masih menganiaya rakyat di Indonesia. Dan kalau di Maluku ketahuan ada warga TNI melakukan tindakan kriminil terhadap penduduk Kristen, maka begitu pula dilaporkan kejahatan warga TNI terhadap orang Islam di Aceh. Kedua macam tindakan itu harus kita lawan dengan tegas, kita yang Islam dan yang Kristen secara bersama. Jangan mau diadu-domba satu sama lain oleh provokator yang berkaok-kaok "jihad" itu, ataupun oleh cerminan "Kristen" daripada yang begituan itu.

Salam, Waruno

Back to part 1 (above)

Back to index