Part 1: Wed, 12 Jan 2000 11:28
To: Irian Jaya List
Response to Vito Hendrik Gambino's comment
on my input of Mon, 10 Jan 2000 10:59
See also part 2 and part 3 (below)
 
Bung Vito,

terimakasih untuk komentarnya yang panjang.

> aku pikir orang Papua meminta nama irian di ganti
> dengan papua karena sudah di plesetin oleh pemerintah
> orba. aku ingat kasus semacam ini juga pernah terjadi
 

Saya juga pikir begitu. Tapi apa boleh buat, perlu dan bahkan berkewajiban kita ini untuk menerangkan letak perkara sesungguhnya kepada orang Irian. Dosa rezim Orba terhadap orang Irian Barat selama lebih dari 30 tahun itu selain pembantaian, pemerkosaan, pembakaran rumah tinggal dan rumah ibadah, dan berbagai kejahatan fisik lainnya itu masih termasuk juga kejahatan rohani yaitu pengrusakan nilai-nilai kebudayaan dan penyebaran disinformasi dan ignoransi.

Khusus, diantaranya, pembohongan orang Irian berkenaan dengan nama pulaunya. Karena itu, alangkah baiknya kalau pemuka-pemuka rakyat Irian Barat merebut kembali nama aslinya, dan membelejeti kepalsuan propaganda rezim Orba yang mencuri nama pribumi Irian itu, dan memprovokasi penduduk sampai mengira nama "Papua" itulah namanya yang sejati (padahal itu dulu nama yang dipakai orang luar, yang bersifat meremehkan terhadap orang pribumi Irian).

> saya juga heran, apa yang membuat sukarno dan
> kawan2nya mau memasukan papua barat dalam negara
> kesatuan republik indonesia? apa dasar pembentukan
> suatu bangsa?
 

Konsep Indonesia kesatuan dalam batas-batas wilayah Hindia Belanda itu bukan konsep barunya Bung Karno, melainkan diajukan dan didasari secara argumentatif untuk pertama kalinya oleh Suwardi Suryaningrat (yang belakangan dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1918, dalam satu makalah pada perayaan ulang tahun ke-10 organisasi Budi Utomo.

Tujuannya waktu itu, yalah untuk meyakinkan rekan-rekannya dari sukubangsa Jawa untuk tidak menonjolkan kejawaannya yang menyendiri, melainkan untuk bersatu dengan perjuangan sukubangsa lain yang berbahasa kesatuan bahasa Melayu. Alhasil, pemuda Jawa yang mendukung gerakan kemerdekaan itu pada rajin belajar bahasa Melayu, melalaikan kebudayaan Jawa.

Latarbelakangnya adalah bahwa tidak mungkin akan bisa berhasil merebut kemerdekaan kalau setiap sukubangsa berjuang sendiri-sendiri, melainkan hanya bisa berhasil kalau bersatu. Prinsip ini menurut saya sampai sekarang masih berlaku, yaitu penegakan demokrasi di Indonesia sekarangpun baru akan berhasil sepenuhnya, kalau semua pulau dan sukubangsa bersatu, wong kita semua sama-sama dulu diinjak-injak oleh rezim diktatur Orba itu.

Kalau kita tidak bersatu, mereka akan bisa saja mengadu-domba kita satu sama lain, seperti yang terjadi di Maluku sekarang. Begitupun adanya pertentangan antara penduduk Aceh dan GAM dengan pemerintah reformasinys Gus Dur ini memberi oknum-oknum militaris alasan terus-menerus untuk menuntut penrnyataan DOM dan hak-hak luarbiasa kepada militer untuk menganiaya rakyat yang takbersenjata.

Baik untuk orang Aceh, begitupun untuk orang Irian Barat, hasratnya baru bisa tercapai liwat jalan legal dan sah dalam suasana demokrasi penuh, sedangkan selama belum pulihnya demokrasi secara 100%, artinya selama oknum-oknum militer masih bisa bersimaharajalela seenaknya, itu cuma menimbulkan korban berlebih-lebihan di pihak rakyat yang tidak bersalah.

Sedangkan mengapa Irian Barat diturutkan dalam negara kesatuan Indonesia. Itu gamblang sekali, wong kenapa orang Irian Barat harus kami anak-tirikan? kenapa pejuang kemerdekaan Indonesia dulu harus cuma memperjuangkan kemerdekaan sukubangsa-sukubangsa di Hindia Belanda tanpa orang Irian yang dibiarkan saja tetap dijajah? Apalagi mengingat di Irian Barat sendiri juga ada pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Lukas Rumkorem (bakapnya Bung Seth Rumkorem) yang mendirikan Partai Indonesia Merdeka di pulau Biak.

Antara Irian Barat dan Indonesia lainnya tidak ada garis pemisah yang alamiah. Baik dari segi ras, maupun dari segi bahasa, atau dari segi kebudayaan, antara Sabang sampai Merauke terdapat satu kesinambungan yang tidak putus-putus. Dalam ciri bahasa dan kebudayaan, kesinambungan itu baru putus pada perbatasan antara Irian Barat dengan PNG.

Dari segi ras, orang berkulit hitam dan rambut keriting itu kita temukan di pulau-pulau sebelah barat pulau Sumatra, begitupun di Riau, di Nusa Tenggara, di Maluku, seperti halnya di Irian. Di Jawa sendiri banyak sekali orang Jawa jang berambut keriting warna kulitnya lebih gelap daripada rata-rata orang kulit sawomatang. Ini disebabkan oleh satu substrat penduduk asli berkulit hitam-rambut keriting di pulau Jawa sebelum kedatangan orang mongoloida di Jawa.

Dari segi bahasa asli, bahasa-bahasa pribumi Maluku Utara yang tergolong dalam kelompok bahasa Halmahera Utara (mis. bhs. Tidore, Ternate, Galela, dll.) itu bukan bahasa rumpun Malayo-Polinesia, melainkan serumpun dengan kelompok bahasa pribumi di semenanjung Kepala Burung (dulu dinamakan Vogelkop). Di lain pihak, bahasa-bahasa rumpun Malayo- Polinesia di sekitar Teluk Cendrawasih dan pantai Sarmi itu (misalnya bhs. Biak, Numfor, Mafor, dll.) itu kerabat paling dekatnya adalah kelompok bahasa Halmahera Selatan (bhs. Buli, Biga, dll.).

Dari segi bahasa antar-suku dan antar-kelompok, di seluruh Indonesia sejak dulu kala ada berbagai-bagai logat Melayu setempat yang dikembangkan oleh penduduk pribumi setempat untuk keperluan komunikasi dalam jala perniagaan yang meliputi seluruh nusantara sejak berabad-abad. Khusus di Irian Barat, selama periode Hindia Belanda dulu pun timbul logat Melayu setempat yang ada kemiripan tertentu dengan logat Melayu di Tidore dan Melayu Ambon.

Sistim persekolahan di Irian Barat, yang dalam periode Hindia Belanda sampai 1942 dulu itu satu dengan Indonesia lainnya, setelah 1962 satu kembali, dan ini berdasarkan bahasa Indonesia yang merupakan bentuk baku kesatuan dari seluruh aneka-ragam logat-logat Melayu yang bertaburan di Nusantara. Sedangkan selain bahasa baku ini tetap ada bahasa Melayu kolokuial setempat di setiap daerah, termasuk di Irian Barat. Lain dengan PNG dan Vanuatu, di mana bahasa komunikasinya itu Tok Pisin dan Bislama, yaitu yang berdasarkan bahasa Inggeris yang "di-Melanesia-kan". Perbatasan antara daerah distribusi pemakaian bahasa Melayu/Indinesia dan bahasa-bahasa Neo-Melanesia (seperti Tok Pisin, Bislama) itu bertepatan dengan perbatasan antara Irian Barat dan PNG. Disinilah ironisnya, kalau Irian Barat sampai merdeka lepas dari RI nanti, bahasa kesatuannya itu secara alamiah akan tetap bahasa Melayu/Indonesia, dan bukan Tok Pisin atau sesuatu yang lain.

Dari segi kebudayaan asli, seluruh daerah pesisir Irian Barat itu punya ikatan erat dengan Indonesia lainnya, dan beda dengan kebudayaan asli pesisir ataupun pedalaman PNG. Di bagian Utara, kebudayaan setempat sebelum kedatangan orang Eropa pun sudah kenal dengan perdagaan yang diperantarai uang logam (perak), sudah kenal dengan kepandaian besi dan logam lain, dan sudah kenal dengan tanaman padi-padian (padi dan jawawut), sedangkan di PNG kebudayaan pesisiran belum kenal dengan segala itu, melainkan ada perdagangan ritual yang dinamakan "kula" atau "hiri", tidak ada logam, dan pertaniannya berdasarkan umbi-umbian. Dari segi keagamaan, yang dipantai utara Irian Barat itu berkesinambungan dengan ciri-ciri agama di Maluku utara dan Maluku Tengah. Di sukubangsa Asmat di Irian Barat bagian barat daya, agamanya mengenal apa yang dinamakan "perahu arwah nenek moyang" yang terdapat di banyak pulau Indonesia lainnya (Nusa Tenggara, Kalimantan, Sumatra) dan di Indocina, tapi tidak ada di PNG ata Pasifik Selatan lainnya.

Dalam periode setelah kontak dengan orang Eropa, kebudayaan dan agama di Irian Barat terutama dipengaruhi oleh orang Belanda, sedangkan di PNG dan Pasifik Selatan lainnya oleh orang Inggeris (dulu juga oleh orang Jerman) dan oleh orang Perancis. agama Kristen di Irian Barat mirip seperti di Maluku Tengah atau di Sumatra Utara, adalah hasil misi Belanda, lain daeripada di PNG dst. Agama Islam pada penduduk pribumi di Irian Barat (apalagi pada penduduk pendatang) itu hubungan sejarahnya dengan Tidore dan Indonesia lainnya. Di Pasifik Selatan itu praktis tidak ada, kecuali pada orang Jawa turunan kuli kontrak di Kaledonia Baru.

> kemudian apa itu ideologi pancasila. dari mana digali.
> dari budaya bangsa indonesia yang mana?
 

Bung, ini sudah panjang sekali, dan malam ini saya masih ada acara mendesak lain. Besok saya sambung ya...., pertanyaan ini insyaAllah akan saya jawab juga.

Malam ini sekian dulu.

Salam, Waruno


 
Part 2: Thu, 13 Jan 2000 8:26 
To: Irian Jaya List
In response to Vito Hendrik Gambino

 

Bung Vito,

maaf kemarin terpaksa berhenti karena sudah malam dan saya punya afsprak yang tidak bisa saya tunda.

> kemudian apa itu ideologi pancasila. dari mana digali.
> dari budaya bangsa indonesia yang mana?
 

Saya pikir, Pancasila itu sebaiknya tidak dipandang sebagai ideologi, melainkan sebagai prinsip-prinsip rohani yang dijadikan asas untuk Undang-Undang Dasar RI saat memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945.

Kelima sila itu diharapkan mencerminkan hasrat dan santun budaya masyarakat pribumi yang seluas-luasnya agar dapat mendasari kesatuan sukubangsa-sukubangsa dalam satu wadah yang "bhinneka tunggal ika", menghadapi tugas kongkret membangun satu negara nasional dan menghadapi tantangan kemungkinan diduduki kembali oleh pihak penjajah masa lampau.

Pada dasarnya, Pancasila itu mencakup tiga prinsip besar, yaitu:
    (1) prinsip sosial komunal;
    (2) prinsip kenasionalan;
    (3) prinsip keagaaman atau keimanan.

Hal ini mencerminkan taraf perkembangan masyarakat Indonesia waktu itu, yaitu terutama watak dwitunggal koeksistensi sektor "tradisional" dengan sektor "modern", dan koeksistensi sektor "rukun desa/solidaritas komunal" dengan sektor "perniagaan dan perdagangan". Jadi, dalam asas-asas ini tampak benar tercerminnya tidak saja watak "aneka- ragam"-nya masyarakat Indonesia antara Sabang dan Merauke, tapi juga lebarnya spektrum variasi-variasi itu, misalnya antara orang Kubu dengan orang Minang dan orang Aceh di Sumatra, antara orang Badui dan orang Tengger dengan orang Sunda dan orang Jawa di pulau Jawa, antara orang Punan dengan orang Banjar di Kalimantan, atau antara orang pedalaman dengan penduduk lama kota-kota besar di Irian Barat.

Tujuannya adalah menyediakan penghargaan yang sama bagi sumbangan segenap sektor-sektor yang aneka ragam itu. Dan bagaimana tepatnya sikap demikian ini tampak misalnya pada krisis pengangkutan laut ketika pemerintah keburu menasionalisasi pelayaran KPM dulu. Kapal-kapal itu kebanyakan oleh kapten-kaptennya dilarikan ke luar perairan RI, sehingga akibatnya, Indonesia kekurangan kapal untuk pengangkutan barang antara Jawa yang banyak penduduk dan industri, dan pulau lain yang banyak bahan mentah dan bahan pangannya. Yang menyelamatkan Indonesia waktu itu adalah armada kapal layar tradisional orang Bugis, Buton, Makassar, Madura, dll, yang dibangun di gelanggang-gelanggang tradisional dengan teknik jaman dulu (tidak pakai paku besi, hanya pakai pasak kayu) di pulau Buton (Sulawesi Tenggara) dan di pantai bagian tenggara pulau Kalimantan, dll.

Pada waktu itu, pemimpin-pemimpin bangsa seperti Bung Karno dan Bung Hatta sangat terpengaruh oleh psinsip sosial-komunal, yang sangat dapat kita mengerti. Pada umumnya, dalam gerakan kemerdekaan Indonesia dulu sudah lumrah untuk membeda-bedakan antara apa yang dianggapnya kepribadian nasional Indonesia dengan apa yang dianggapnya kepribadian bangsa penjajah (Nederland). Orang Belanda digambar-gambarkannya "kikir, egois, terlalu mementingkan materi dan kerja", sedangkan orang pribumi dilukis-lukiskannya lebih mementingkan "kekeluargaan , persaudaraan, dan kesantaian". Sesungguhnya ini hanya perbedaan masyarakat di negeri belum terkembang dan negeri industri terkembang, tapi waktu itu, orang belum menyadari hal ini. Tidak kebetulan, maka prinsip sosial komunal itulah oleh Bung Karno dipandang prinsip induknya, yaitu yang dirumuskan dengan kata "Gotong-Royong".

Artinya, menjawab pertanyaan Bung "dari mana digali, dari budaya bangsa Indonesia yang mana?", Pancasila itu bukan eksponen kebudayaan satu atau dua sukubangsa tertentu di Indonesia, dan begitupun tidak berpihak pada kepentingan satu lapisan masyarakat tertentu, melainkan merupakan usaha Bung Karno (yang merumuskan Pancasila dalam bulan Juni 1945 itu) untuk (a) sedapat mungkin mencakup kepribadian segenap sukubangsa dan kepentingan segenap lapisan sosial, dan (b) menciptakan suasana kerjasama dan kekeluargaan antara masing-masingnya itu, sesuai dengan taraf perkembang masyarakat Indonesia masa itu, dan sesuai dengan taraf pengetahuan pemimpin-pemimpin kita pada waktu itu. Dan dalam hal penekanan prinsip sosial-komunal itu, walaupun Bung Karno pribadi mungkin lebih paham dengan rukun desa di Jawa dan Bali, sedangkan Bung Hatta mungkin lebih kenal dengan rukun adatnya nagari orang Minangkabau, tetapi pada keseluruhannya, semua tipe rukun kekeluargaan atau kemargaan dsb. itu, misalnya yang dinamakan pela di Maluku Tengah, dan yang seperti itu di berbagai daerah Indonesia lain (termasuk Irian Barat) itu pun turut terwakili. Cuma, Bung Karno juga suka "me-modern-kan" konsep rukun komunal itu dengan istilah "sosialisme". Apalagi mengingat kecenderungan waktu itu untuk menentangkan "kepribadian Indonesia" dengan "kepribadian Belanda" itu, maka "sosialisme" inipun menjadi lawannya "kapitalisme"-nya ekonomi Belanda.

Tapi kemudian, Pancasila itu diserobot oleh rezim Suharto dan dipalsukan serta diputarbalikkan sepenuhnya. Kalau gagasan aslinya bertujuan menegakkan jiwa gotong-royong dan kekeluargaan, maka "Pancasila" a la Soeharto merupakan senjata untuk menancapkan prinsip pemerintahan otoriter yang berdasarkan hanya satu pendapat yang benar, pendapat "sang Bokap". Siapa tidak setuju "diciduk", "diamankan", diculik, mati misterius, dsb. Bahwa mereka terus tidak berani mengaku akan penculikan dan pembunuhan diam-diam itu bukan sekedar tanda mereka itu pengecut, melainkan tanda mereka sadar bahwa bersalah. Mereka tahu bahwa mereka telah melanggar undang-undang, telah melanggar Pancasila. Tapi selama mereka masih memegang kekuasaan, mereka berkaok-kaok bahwa mereka itulah "Pancasila".

Tak beda halnya dengan nama "Irian" yang telah mereka cemari itu sampai orang Iriannya sendiri akhirnya lebih senang menamakan diri "Papua", maka begitupun dengan "Pancasila", orang sering menganggapnya suatu ideologi otoriter seperti yang dipraktekkan oleh Soeharto itu.

Tidaklah benar, bahwa penumpasan G-30-S itu "kejayaan Pancasila", wong "penumpasnya" itu sendiri mungkin malah tersangkut kok. Tetapi kudeta 11 Maret 1966 dengan dalih "Supersemar" (yang aslinya sampai sekarang belum berani mereka tunjukkan kepada umum) itulah kekalahan Pancasila yang pahit, dan kekalahan itu baru akan bisa ditiadakan kembali kalau sisa oknum-oknum Orde Baru itu lenyap dari pemerintahan, administrasi sipil, angkatan bersenjata dan keamanan. Dan untuk itu, segenap lapisan dan kelompok yang pernah dirugikan oleh rezim Orde Baru itu perlu bekerjasama dan tidak membolehkan dirinya diadu-domba satu sama lain oleh mereka itu.

Tentu saja, perlu juga kita catat bahwa Indonesia yang sekarang sudah tidak identik dengan Indonesia 1945. Walaupun pesan inti dari Pancasila itu, yaitu "gotong-royong" antara aneka kelompok, masih tetap aktuil, tetapi ada pergeseran-pergeseran tertentu dalam tekanannya. Terutama dengan perkembangan ekonomi dua dasawarsa terakhir menjelang krisis moneter, klas menengah di Indonesia bertambah maju dan berpengaruh, sedangkan sektor rukun-desa itu berkurang. Moga-moga, reformasi di Indonesia dapat berhasil menegakkna kehidupan demokrasi yang menyeluruh, dan sisa oknum-oknum Orde Baru berhasil disisihkan. Dengan demikian, mungkin lambat laun bisa timbul sistem dua-partai yang mana satunya (misalnya gabungan PKB, PAN, PPP, PBB, PK, dll., ini cuma misal yang abstrak lho) lebih mewakili kepentingan bisnisnya klas menengah pada khususnya, dan khasiat "masyarakat madani" pada umumnya, sedangkan yang satunya lagi (misalnya PDIP dengan Golkar-putih) lebih menekankan prinsip sosial dan rukun komunal yang mencerminkan "masyarakat gotong-royong". Maka prinsip keadilan dan kemakmuran itu hanyalah akan terjamin dengan terpeliharanya keseimbangan demokratis daripada kedua "partai" itu.

> tapi saya pikir kemerdekaan bukan merupakan akhir
> perjuangan, tapi mungkin awal.
> saya ingat kata2 samora michel ketua FRELIMO di
> Mosambique, bahwa "tidak perlu anda bertanya pada
> seorang budak apakah dia ingin merdeka?"
 

Setuju Bung, cuma saya tidak menganggap orang Irian itu budak orang Indonesia lainnya, melainkan kita semua kemarin sama-sama jadi budaknya rezim Soeharto.

Sekian dulu, nanti saya masih mau sempat menyambut respons teman lain.

Salam hangat, Waruno

Back to part 1 (above)
 
Part 3: Thu, 13 Jan 2000 8:26 
To: Irian Jaya List
In response to Vito Hendrik Gambino

 

Nambah sedikit karena tadi kelupaan:

> tapi saya pikir kemerdekaan bukan merupakan akhir
> perjuangan, tapi mungkin awal.
 

pada tahun 1945, waktu ada yang bertanya apakah Indonesia sudah siap untuk merdeka, jawab Bung Karno: kalau anak muda mau nikah, itu yang satu mungkin pikir-pikir dulu, apakah segala sesuatu itu sudah dimilikinya, dan simpanan kekayaan sudah cukup, dan ada yang lain yang tidak tunggu-tunggu sampai segala sesuatu sudah beres (wong bisa tua bongkok belum nikah-nikah), itu nikah dulu, baru sudah itu menghadapi tuntutan kehidupan bersama-sama dengan si jodoh. Begitupun dalam hal kemerdekaan.

Kata Bung Karno, kemerdekaan itu adalah bagaikan jembatan emas yang perlu kita seberangi dulu. Baru setelah menyeberanginya itu, dapatlah kita urus rumahtangga kita sendiri sebagaimana kita anggap perlu.

Ini memang ada risikonya, yaitu segala sesuatu kita harus belajar. Tak terabaikan, kita bikin banyak kekeliruan. Maklum, belum punya pengalaman. Begitulah kalau lihat sejarah Indonesia kita bikin banyak kekeliruan, akhirnya kena hukumannya, ketiban rezim Soeharto. Sekarang, dengan menjatuhkan Soeharto itu, moga-moga kita boleh mengharapkan akan sampai di seberang jembatan emas itu untuk membangun kehidupan adil dan makmur.

Nah, menurut penglihatan saya, untuk Irian Barat dalam hal ini ada dua pilihan:
(a) turut bersama-sama dengan Indonesia lainnya sebagai bagian integral daripada Indonesia yang sama hak sama kewajiban dengan pulau-pulau lain
(b) mengulangi itu semua kembali untuk diri sendiri, artinya pasang jembatan mas sendiri, mengulangi kembali segala kekeliruan-kekeliruan itu, dan selang mungkin 20 tahun ataupun lebih dari itu, mungkin sekali lagi sampai pada seberang jembatan......

Itulah sebabnya kenapa saya menganjurkan jangan pisah dari Indonesia. Menurut saya, Irian sudah lebih dari cukup menderita, sudah turut membayar untuk kekeliruan-kekeliruan Indonesia masa lampau itu dengan harga yang amat mahal. Kenapa pula harus disuruh sekali lagi mengulangi itu dan sekali lagi bayar? Itu seperti membeli rumah dengan membayar untuk dua rumah. Rugi dong.....

Salam hangat, Waruno


Back to part 1
or part 2 (above)

Back to index