Date: Thu, 20 Nov 1997 15:57:30 +0100
To: Maluku manise 
From: Waruno Mahdi 


> Oh begitu ya Bung? hanya karena kami sudah bersentuhan dengan budaya, atau 
> bahasa melayu lalu kami harus memilih menjadi melayu dari pada melanesia?
> Lebih mudah berinteraksi dengan budaya melayu tidak berarti kita harus menjadi 
> orang melayu dengan meghilangkan identitas kita sebagai orang Melanesia.
> Ini adalah rencana gila dari bangsa melayu terhadap kami.
Pendapat Bung dalam hal ini bisa saya mengerti. Tetapi mungkin ada satu hal salah kaprah, yaitu Bung menyangka saya mementingkan kebudayaan Melayu dalam proses pembentukan kesatuan kebudayaan Indonesia.

Ini Bung salah mengerti. Yang saya maksud bukan kebudayaan Melayu Sumatra/Malaya yang itu terutama berbahasakan logat Melayu Tinggi. Yang saya maksud adalah tradisi kebudayaan yang berdasarkan logat-logat Melayu Pasar atau Melayu Rendah, yang pernah oleh Pramudya Ananta Tur dinamakan Melayu Lingua Franca. Logat-logat ini terdapat di seluruh Nusantara, dan dibentuk bukan oleh orang Melayu yang dari Sumatra atau Malaya, melainkan oleh orang setempat. Sebelum kedatangan orang Belanda saja, sudah ada misalnya logat Melayu Ambon dan Melayu Ternate.

Waktu Magelan membuat pelayaran mengitari bola bumi, dia membawa seorang budak Melayu yang pernah dibelinya waktu sedang mampir di Malaka (sebelum mengadakan perkitaran bumi), yang dibaptis dan mendapat nama Henrike. Begitupun pada ekspedisi Magelan itu ada seorang Italia bernama Pigafetta yang menyusun buku harian tentang segala apa yang terjadi di perjalanan, yang belakangan diumumkan sehingga menjadi sumber sejarah yang penting. Berita Pigafetta ini menerangkan bahwa sejak ekspedisi itu sampai di Filipina, lalu melanjutkan pelayaran ke Brunei dan lalu ke Maluku, dimana-mana mereka bisa menggunakan Henrike sebagai penerjemah, karena bahasa Melayu itu dimengerti di-setiap tempat mereka singgah.

Dari catatan orang Belanda dari mula abad ke-17 tentang bahasa Melayu di Ambon, ada satu keanehan, yaitu akhiran -kan dalam bahasa Melayu yang tercatat itu bunyinya -akan. Memang akhiran -kan dalam bahasa Melayu asalnya dari kata akan, tapi dalam bahasa Melayu di Malaya dan Sumatra itu sudah lama menyingkat menjadi -kan. Tapi dalam bahasa Melayu Brunei akhiran itu masih tetap -akan. Jadi ada kesimpulan bahwa bahasa Melayu di Ambon ini asalnya bukan dari daerah Sumatra/Malaya, melainkan dari daerah Sulu/Brunei.

Bahkan pada awalnya saja, bukan orang Melayu asli yang berperanan. Hubungan laut antara Maluku dan Selat Malaka sudah ada sejak kira-kira tahun 200 seb.M. Dari hasil penelitian saya sendiri ada kesimpulan, bahwa pelayaran antara Maluku dan Sulawesi Utara itu pelaut-pelautnya orang yang bahasanya termasuk golongan bahasa Maluku Tengah. Sedangkan pelayaran antara sana dan Selat Melaka itu pelautnya memakai bahasa Melayu. Tapi lucunya, ada beberapa ciri yang menunjukkan bahwa pelaut itu bukan ras sawo-matang, melainkan ras negrito. Artinya, ini bukan orang Melayu asli, melainkan suku-suku Orang Laut. Dalam catatan lama kronik Tionghoa di jelaskan bahwa mereka "berbadan telanjang dan hitam melulu". Yang dimaksud dengan "telanjang" disini tentunya bukan telanjang bulat, melainkan suka cuma pakai cawat.

Orang Melayu asli itu jaya-jayanya di masa Sriwijaya dan masa Yawadwipa yang mendahuluinya. Setelah itu kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatra/Riau dan Malaya itu semakin dekaden, sedangkan yang aktif di Nusantara itu adalah sukubangsa-sukubangsa lain yang mengembangkan logat-logat Melayu Pasar. Dalam periode Hindia Belanda, orang Belanda turut menyebarkan bahasa Melayu. Misalnya di Menado, jaman sekarang bahasa setempatnya praktis logat Melayu Manado, tapi dulu bahasanya bahasa Manado yang mirip dengan bahasa-bahasa Minhasa lainnya (misalnya Tondano, Tonsea dsb.). Logat Melayu Manado ini adalah akibat kegiatan misi Belanda yang memakai bahasa Melayu.

Disini kita perlu catat satu peran penting sekolah misi di Ambon dalam hal perkembangan bahasa Melayu di Nusantara. Waktu orang Belanda merebut benteng orang Portugis di Amboina, disana terdapat sekolah Portugis dengan murid-murid orang Ambon. Pengajarannya dalam bahasa Portugis. Mula-mula kegiatan sekolah dilanjutkan, cuma dalam bahasa Belanda. Hanya saja, politik kolonial VOC sangat beda dengan politik kolonial Portugis. Yang Portugis, seperti halnya yang Sepanyol, itu menjurus ke arah asimilasi, sehingga orang pribumi "di-Portugis-kan" (atau "di-Sepanyol-kan"), tapi VOC tidak mau mangasimilasi orang pribumi menjadi seperti orang Belanda. Jadi, murid-murid pribumi yang lulus sekolah berbahasa Belanda itu tidak dapat pemanfaatan apa-apa. Lalu berubahlah pengajaran, dengan memakai bahasa Melayu. Jadi di Ambon inilah sekolah berbahasa Melayu yang paling pertama di Nusantara memakai bahasa Melayu berhuruf Latin. Dari sinilah bersebar orang-orang pribumi berbahasa Melayu huruf Latin keseluruh Nusantara, khususnya juga untuk jadi guru. Disini jugalah tempat pertama pengajaran guru-guru Eropa yang bakal mengajar dalam bahasa Melayu di misi-misi di seluruh Nusantara, antara lain di Sumatra, misalnya di tanah Batak. Belakangan, sekolah di Kupang juga mendapat peranan penting.

Beberapa akibat dari hal ini masih bisa dilihat dalam beberapa gejala bahasa Indonesia percakapan. Karena kalau bahasa Indonesia baku yang diajarkan di sekolah itu asalnya dari Melayu Tinggi, maka bahasa Indonesia percakapan ini lebih besar andil Melayu Pasarnya. Kita tahu dalam bahasa Indonesia berlaku apa yang biasa disebut "hukum DM" (misalnya buku itu dan buku saya). Tapi di Indonesia bagian Timur terdapat daerah luas di mana bahasa setempatnya menuruti "hukum MD". dan inipun ada cerminannya misalnya dalam logat Melayu Ambon. Nah, adanya dalam bahasa Indonesia percakapan beberapa gejala penurutan "hukum MD' ini menunjukkan pengaruh Melayu Ambon melalui kegiatan guru-guru Eropa dan pribumi yang belajar di Ambon, dan jurutulis-jurutulis yang asal dari sekolah di Ambon. Contohnya adalah ungkapan-ungkapan seperti itu buku, atau saya punya buku dalam arti "buku itu" dan "buku saya". (Ini prosesnya agak saya persederhanakan supaya ceriteranya disini jangan terlalu tele-tele).

Publikasi pertama seorang pribumi Indonesia dalam bahasa pribumi Indonesia dalam satu medium ilmu-pengetahuan terbitan orang Eropa itu setahu saya:

D.P. Manafe, 1889, "Akan Bahasa Rotti", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, bagian ke-38, hlm. 634-648.
Manafe ini seorang guru yang mengajar di sekolah di Pulau Roti, dan dulunya belajar menjadi guru di Kupang. Apakah dia orang Roti atau orang Timor saya kurang jelas. Tulisannya itu dalam bahasa Melayu yang diajarkan di Kupang.

Dari beberapa contoh ini tampaklah, betapa besarnya andil sukubangsa-sukubangsa setempat di seluruh Nusantara dalam memajukan tradisi budaya yang saya sebut budaya Melayu Pasar itu. Sangat besar disini perannya orang Indonesia bagian Timur, khususnya orang Ambon. Jelaslah saya sangat tidak setuju jika kebudayaan itu dianggap sebagai prestasi orang Jawa dan orang Melayu saja. Andil mereka tentu saja juga tidak kecil, tapi bukan mereka saja yang berjasa. Kebudayaan Melayu yang saya persoalkan itu adalah benar-benar milik bersama segenap sukubangsa Nusantara, dan juga segenap corak ras, biar sawomatang atau hitam, biar keriting atau rambut kejat, atau botak. Lihat di atas, 200 tahun sebelum Masehi saja, yang berjasa sudah orang Negrito! Dan yang mulai ekspor rampah-rempah yang membuat Indonesia terkenal itu orang Maluku! Jadi, kalau saya bicara tentang adanya satu kesatuan Indonesia yang sudah membudaya itu, ini bukan sekedar omong hebat sebagai patriot hura-hura kalau pidato 17 Agustus. Begitupun kalau saya mengatakan turut bangga sama kawan setanahair yang rambut keriting, itu bukan taktik atau sopan-sopan saja, tapi benar berdasarkan keyakinan yang berdasarkan pengetahuan.

Untuk penutupnya, satu catatan terakhir: Menjelang akhir masa Hindia Belanda, di Hollandia (sekarang Jayapura) dan Biak pun telah berkembang satu logat Melayu setempat.....



Back to text