This text was broadcast Dec. 29, 2009, on Wahana-News and Mediacare mailing lists in response to “Bangkit dan Hancurnya Islam” on Wahana-News Dec. 21, 2009.
                    (edited and mounted 4-Feb-2010)

 

Tulisan ini disiarkan tgl. 29 Desember 2009 di milis Wahana-News dan Mediacare merespons pada tulisan “Bangkit dan Hancurnya Islam” di Wahana-News tgl. 21 Desember 2009.
                    (disunting dan dipasang tgl. 4 Pebruari 2010)


Apa benar kalau Islam dikatakan “hancur”?

Waruno Mahdi

Kalau kita perhatikan sejarah kejadiannya, maka sesungguhnya perlu kita catat, bahwa ketimbulan agama Islam itu sendiri berhakekat peralihan masyarakat menjadi negara hukum yang beradab, dan fungsi ini tidak berakhir dengan kesurutan Khalifat Bagdad. Tetapi mari kita ikuti masalahnya dari mula secara seksama.

Dalam ilmu sejarah, perkembangan bangunan politik komunitas tertentu itu melalui beberapa tahap, berjajaran dengan tingkat perkembangan ekonominya. Masjarakat purba belum memiliki bangunan kekuasaan politik, melainkan pengaturan kehidupan masjarakat yang berstruktur keluarga besar dan marga itu cukup dengan adat dan otoritas penghulu, balian, dan para tetua.

Dengan berkembangnya daya produksi, terutama dengan berkembangnya pertanian dan peternakan, timbul keperluan penguasaan dan pengamanan wilayah serta perlindungan perkampungan tetap dengan lumbung-lumbung dan perkakasan produksinya. Sebagai akibat ketergantungan keselamatan komunitas dari keberhasilan melindungi diri terhadap serangan luar, maka ada satu lapisan masyarakat yang mengkhusus dalam spesialisasi bertahan dan berperang. Inipun ada panglimanya yang memegang kekuasaan tertinggi atas wilayah dan komunitas tersebut, yang bersandar pada pasukan bersenjata itu.

Ada perang antara penguasa-penguasa yang bertetanggaan secara terus-menerus, dan siapa di antaranya yang saat tertentu itu unggul bisa gonta-ganti. Ini mengganggu perkembangan ekonomi lebih lanjut yang membutuhkan kestabilan tatanan. Timbulnya pusat-pusat madani dengan berbagai pertukangan, kediaman pedagang, pasar, dsb., menimbulkan keperluan pengamanan wilayah luas. Sekalipun ada penguasa unggul mengalahkan lingkaran kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya, ini belum memadai, karena setiap saat bisa dirongrong oleh raja kecil setempat yang merasa kuat.

Kestabilan baru tercapai dengan diresmikannya satu tatanan hukum yang keberlakuannya bersandar tidak saja pada otoritas kekuatan militer penguasa tertinggi (raja, maharaja atau kaisar), melainkan juga berlindung dibawah satu otoritas gaib berupa agama. Oleh karena manusia berkhasiat naluri takut pada roh-roh, hantu-mambang, dewa-dewa, Tuhan, dsb., maka keberlakuan tatanan tertentu itu lebih mantap apabila otoritas penguasa duniawi diperkuat dengan otoritas agama. Perkembangan demikian ini pernah dinamakan peralihan dari “barbarisme” ke “sivilisasi”, artinya, “kejadian tatanan beradab”.

Semula, maharaja itu sendiri bisa "didewakan", dinyatakan angker. Tetapi umumnya lebih tuntas dengan timbul agama tersendiri sebagai agama negara. Demikian misalnya kekuasaan kaisar Asyoka di India bersandar pada agama Buddha, atau kekuasaan kaisar Konstantinus di Roma bersandar pada agama Kristen.

Ketimbulan agama Islam pun berfungsi menegakkan satu tatanan beradab demikian. Tujuannya menanggulangi situasi perang antarsuku terus-menerus di Arabia, yang oleh Nabi Muhammad dijuluk jahiliah. Sebagai penggantinya, diajarkannya tata aturan kedamaian yang dinamakannya Islam (artinya kedamaian) sebagai agama yang memantapkan gabungan suku-suku Arab yang digalang bersatu oleh Muhammad. Peralihan ini mendatangkan kestabilan, syarat penting untuk suburnya budaya madani dan perniagaan yang kian makmur. Dan inipun meningkatkan keampuhan bangsa Arab, dimana gabungan suku-suku tersebut kemudian dapat memperluas wilayah kekuasaannya.

Adapun, hasil perluasan wilayah ini, khususnya pencakupan Suriah, Irak dan Iran dalam pendirian Khalifat Umayyah berpusat di Damaskus, kemudian Abbasiyah di Bagdad, itu juga berarti turut mewarisi banyak ciri sisa kebudayaan kuno Mesopotamia (Babilon, Assuria) dan Parsi. Dengan demikian, perkembangan pertama kali Islam menjadi agama penjunjung suatu negara besar beradab itupun menjadi contoh adaptasi satu agama dengan memanfaatkan unsur-unsur budaya lain. Ini bukan satu keganjilan, melainkan sesuatu yang amat lumrah. Agama Kristen pun memanfaatkan unsur-unsur budaya Yunani dan terutama lagi budaya Romawi (sungguhpun Nabi Isa sendiri orang Ibrani), sebelum kemudian menjadi agama negara Kekaisaran Romawi sejak Konstantinus.

Khalifat Bagdad yang beragama Islam itu menjadi pusat kebudayaan yang amat masyhur baik di Asia maupun di Eropa. Adapun, tatanan mantap suatu negara beradab itu selain mempunyai banyak kelebihan, juga tidak lepas dari beberapa kelemahan. Salah satu kelebihan penting: kuat atau lemahnya negara tidak lagi tergantung pada kuat atau lemahnya sang raja sebagaimana dulu. Akibat mandirinya tatanan, rajapun menjadi sekadar satu unsur atau eksponen daripada negara (disamping imamat, pamongpraja, dst.). Dari sejarah Kekaisaran Romawi terkenal bisa ada kaisar setengah gila (Nero, Kaligula), tetapi negara tidak runtuh. Apabila raja Perancis Louis XIV (Lodewijk ke-14) menyatakan “l'êtat c'est moi” (akulah negara), maka itu sesungguhnya tidak benar, melainkan sekadar kesan superfisial belaka.

Di pihak lain, dalam situasi negara otoriter, kelanjutan kemakmuran berkat keunggulan negara mantap itu, maka akhlak lapisan elite lambat-laun mengalami dekadensi, dengan akibat lambat-laun terongrongnya negara itu secara struktural. Khalifat Bagdad pun tidak luput dari nasib demikian, kemudian berakhir riwayatnya di pertengahan ab. ke-13 ketika dikalahkan oleh Hulagu Khan, cucu Jengiz Khan.

Adapun, agama Islam hidup dan berkembang terus. Sekitar peralihan abad ke-13 ke ab. ke-14, satu kerajaan kecil bangsa Turk beragama Islam di barat-laut Asia Kecil di bawah pimpinan Utsman I (ejaan lain: Othman I, Osman I) memperluas wilayahnya di Asia Kecil bagian barat dan di daerah Balkan. Lahirlah dengan demikian Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) yang awal ab. ke-15, di masa kerajaan Sultan Mehmed II, menduduki Konstatinopol (kini Istanbul). Mehmed II yang kemudian terkenal dengan gelar al-Fatih (artinya “sang penakluk”) inipun tambah memantapkan tatanan negaranya dengan memperbaharui sistem administrasi yang seragam di seluruh kesultanan, dan menerbitkan kaidah undang-undang Utsmaniyah (Qanunname-i ‘Othmani).

Masa kejayaan Kesultanan Utsmaniyah selama ab. ke-15 dan ke-16, kesultanan itu mencakup daerah luas Eropa Tenggara, Asia Barat Daya dan bagian timur Afrika Utara. Maklum bahwa selain dengan warisan budaya Islam yang sudah diperkaya dengan unsur-unsur Parsi (dan Mesopotamia dan Mesir), kebudayaan Islam periode Utsmaniyah ini juga mencakup warisan Turk, dan sejak Mehmed II juga menyertakan unsur-unsur budaya Yunani. Ini tambah lanjut pada ab. ke-16, masa kerajaan Sultan Suleiman II yang dikenal dengan gelar al-Qanuni karena lama sekali disangka beliaulah yang semula mengeluarkan kaidah undang-undang Qanunname tersebut di atas. Baru awal abad ke-17, maka kemantapan tatanan dan kemakmuran kehidupan Kesultanan Utsmaniyah mulai merosot berangsur-angsur, sampai pada awal abad ke-20 sedemikian rapuhnya, sehingga setelah kalah dalam Perang Dunia I digulingkan oleh Kemal Ataturk yang mendirikan Republik Turki.

Lebih jauh ke timur, pada ab. ke 16 salah seorang keturunan Jengiz Khan bernama Babur mendirikan Kesultanan Mughal yang kemudian, terutama di bawah Sultan Akbar, memperbesar luas wilayahnya dari Afghanistan sampai Bengala. Bersama itupun, budaya Islam yang sudah diperkaya dengan unsur budaya Parsi dan Mongol itupun lebih lanjut memanfaatkan unsur-unsur budaya India. Baru pada abad ke-18, negara Mughal itu mengalami kesurutan dan perpecahan.

Dengan demikian dapat kita simpulkan, bahwa agama Islam di satu pihak tidak sekali saja menjadi tiang pancang negara beradab yang mantap dan sejahtera, melainkan berulang kali (contohnya masih banyak lagi, di atas sekadar yang paling menyolok yang saya singgung). Di pihak lain agama itu berkembang terus, khusus juga dengan mencakup unsur-unsur budaya dari sumber lain. Dalam riwayat agama-agama lainpun demikian adanya. Perkembangan ekonomi, terkhusus teknik produksi, berkembang terus di sepanjang masa, dan bersama itupun berkembang pula struktur sosial daripada komunitas yang ekonominya tidak ketinggalan zaman. Maka agar tetap dapat menjamini komunitas dengan bimbingan rohani yang diperlukannya untuk hidup sejahtera, agama itupun perlu beradaptasi kepada perubahan syarat-syarat kehidupan komunitas itu.

Khusus bagi mereka-mereka yang merasa kurang srek dengan cara analisis yang materialis demikian ini, maka ditinjau secara teis pun, tidak beda dari itu kesimpulannya. Mengapakah Gusti Allah seakan menurunkan wahyuNya secara sepotong-sepotong, dengan “menugaskan” antara lain Gautama, Nabi Isa, Nabi Muhammad? Kenapa tidak langsung saja satu kali, waktu Adam dan Hawa meninggalkan Jannah (taman Firdaus)? Nyatalah, Allah yang mahatahu telah berbijaksana, membolehkan umat insan mengembangkan kebudayaan dan pengetahuannya, dan hanya sewaktu-sewaktu saja merasa perlu “turun tangan” dengan wahyu-wahyu kongkrit apabila ada komunitas dipandangNya berkeperluan khusus; seperti misalnya di Arabia waktu hidupnya Muhammad. Itu setiap kalinya satu peristiwa istimewa, sedangkan yang “biasa”, “rutin”, artinya yang tidak “istimewa sendiri”, itu kalau umat bersama agamanya itu dibiarkanNya untuk kreatif sendiri menggunakan daya akal yang telah diberkatkan kepada setiap manusia olehNya.

Namun aneh bin ajaib, ada sementara ulama dan ustaz yang ajarannya berkebalikan dengan itu. Inipun bukan hal baru, dan bukan ciri khusus perkembangan agama Islam. Pertentangan antara fundamentalisme atau ortodoksi dengan reformasi atau pembaharuan itu ada di sepanjang zaman, pada aneka macam agama. Adapun gejala yang kita saksikan dalam agama Islam ab. ke-21 ini, yang sesungguhnya gejala itu sudah berkembang mungkin seabad lamanya, itu kiranya ada keistimewaannya sendiri yang perlu kita tinjau lebih khusus.

Sumber gejala baru ini rupanya penindasan kolonialis Eropa terhadap banyak negeri, di antaranya yang penduduknya beragama Islam. Sedangkan yang tidak menjadi jajahan kolonial pun, seperti Kesultanan Utsmaniyah tersebut di atas, mengalami kemerosotan dan kemudian kalah perang dengan negeri-negeri Eropa. Seiring dengan kemerosotan ekonomi dan politik itupun merosotlah tingkat pendidikan. Ada-lah muncul kesimpulan ganjil, bahwa terjajahnya atau kalah perangnya komunitas-komunitas beragama Islam itu pertanda kemarahan Allah karena orang sangkanya mengingkari ajaran-ajaran “asli” agama Islam. Maka, ajar mereka, mestilah kembali kepada kebudayaan Islam “asali” masa hidup Nabi Muhammad.

Sesungguhnya, “teori” mereka ini justru merupakan bukti nyata kemerosotan tingkat pendidikan kalangan ulama tertentu. Pertama, mereka kiranya tidak tahu sejarah, tidak mengerti bahwa agama Islam masa kejayaan Kalifat Bagdad itu saja sudah dengan adanya perubahan-perubahan dalam budaya Islam (lihat atas). Apalagi perlu di catat, misalnya, bahwa Sultan Mehmed II yang mengawali masa kejayaan Kesultanan Utsmaniyah tersebut (lihat atas) itu khusus mendatangkan pelukis Italia bernama Gentile Bellini untuk melukiskan gambar potret dirinya (sungguhpun lazim dianggap terlarang dalam agama Islam). Tetapi yang lebih jahil lagi dalam ajaran mereka itu: sekiranya benar “kekalahan” umat Islam itu pertanda Allah marah, maka berartilah bahwa “kemenangan” kaum kolonial Eropa yang beragama Kristen itu pertanda Allah lebih senang dengan mereka! Maka kesimpulannya, supaya tidak kalahan lagi orang Islam agar masuk agama Kristen sajalah — demikianlah “rasio” ajaran ganjil tesebut kalau logikanya kita ikuti secara konsekuen. Jahil benar, bukan? Tak kebetulan, ajaran tersebut diberitakan panjang lebar oleh petugas penelitian budaya timur aparat kolonial Hindia Nederland dulu, sehingga di kalangan umat Islam Indonesia pun sampai tersebar luas.

Tetapi sesungguhnya, sebagaimana telah dapat kita saksikan di atas tadi, Allah tidak lazim mengurusi setiap tetek-bengek tatanan kehidupan umat manusia, melainkan suka membiarkan makhluk cerdas ciptaanNya itu agar kreatif dan berinisiatif sendiri, jarang kali saja terkadang mencampuri, misalnya dengan wahyu yang disampaikan melalui malaikat Jibril. Kok ya lantas dianggap iseng mengikuti setiap sepele cekcok dan tikai orang, mengatur khusus pihak mana kalah pihak mana menang? Aparat birokrasi manusiawi boleh jadi biasa begitu, tetapi kebijaksanaan Ilahi nyatanya tenang-tenang saja melayang di atas segalanya itu, bukan? Ini baik dipandang dari sudut penglihatan teis, apalagi kalau disoroti dalam perspektif materialis.

Adanya kegiatan teroris yang berjubah “Islam” terakhir ini selain tidak lepas dari “rasio” jahil macam yang digambarkan di atas ini, kiranya masih lagi mempunyai kekhususan tertentu. Kekhususan ini adalah gejala “kalah”-nya pihak yang menganggap dirinya ditakdirkan “unggul”, sehingga merasa dirinya “ditipu” oleh realitas, atau sekurangnya oleh pihak umum. Reaksinya sering-sering “membalas dendam” secara babi-buta terhadap pihak umum itu. Satu contoh adalah golongan neo-nazi di beberapa negeri Eropa. Ini umumnya orang-orang yang gagal dalam kehidupan, sering jadi penganggur. Menurut kepercayaan nazi mereka, sebagai orang jantan warga ras kulit putih mereka itu unggul sendiri, tetapi dalam kenyataan dilihatnya banyak pendatang berkulit kuning, coklat dan hitam sempat sukses dalam pekerjaan, apalagi karyawan bangsa Yahudi, begitupun seniman dan designer mode yang konon homoseksual (lebih najis lagi di mata mereka). Maklumlah kalau mereka sampai merasa “tertipu”, lalu cenderung kalap melakukan tindakan-tindakan kekerasan baik terhadap orang pendatang, maupun terhadap bumiputra yang keyakinan atau pembawaannya tidak cocok dengan pandangan mereka.

Begitu pula kiranya dengan teroris yang berkedok Islam:

Di satu pihak anasir yang bersangkutan itu berkeyakinan bahwa agamanya itu satu-satunya yang “benar”, yang diturunkan langsung dari Allah, maka pasti menjamin keunggulan umat yang menganutnya. Ini lumrah, penganut setiap agama pun yakin, agamanya sendiri itulah yang “benar”, yang menjamin keselamatan rohani penganutnya. Yang celaka kalau guru agama atau ustaz berpendidikan sedemikian terbatas, sehingga selain hafalan mati ayat-ayat agama praktis tidak berilmu lain.

Di pihak lain, setelah balik kepada ajaran “asali” yang disangkanya manjur dan pasti mendatangkan keunggulan baginya itu, nyatanya bahkan berkebalikan dari itu. Reaksi mereka inipun dengan kalap, melakukan kekerasan teror yang justru ditentang oleh Nabi Muhammad yang menyatakan kelakuan demikian itu jahiliah. Maklumlah, yang demikian itu pasti mengalami kegagalan, karena sebab menangnya penjajah kolonialis kemarin itu bukan berkat Allah lebih senang pada orang Kristen, melainkan karena dengan unggulnya masyarakat madani di beberapa negeri Eropa maka memajukan pertukangan dan aneka jurusan keahlian, yang akhirnya menjurus ke industrialisasi. Di negeri-negeri beragama Islam pun tidak bisa lain, mesti meninggalkan tatanan “asali” dengan hukum Syariat warisan masa Khalifat Umayyah, menerapkan perpisahan antara agama dan negara seperti di Turki, Suriah, Irak, Mesir, Aljazair, dsb. Kalau mencoba toh memaksakan kesatuan negara dan agama, akhirnya masyarakat madani itu sendiri yang paling merasakan kesesatan tatanan demikian itu bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan, itu mau-tidak-mau akan berontak. Demikianlah perlawanan terhadap kediktatoran Ayatullah di Iran sekarang ini.

Khusus di Indonesia, dapat kita saksikan bahwa di kalangan pengikut Noordin M. Top ada bekas pengikut DI-TII serta anak-anaknya. “Darul Islam” (DI) artinya negara Islam, penjelmaan kembali Khalifat yang menyatukan negara dan agama. Mereka yang tahun-tahun 1950-an mencoba memperjuangkannya itu merasa yakin dirinya pasti menang karena sangkanya menuruti “kehendak Allah”. Setelah nyatanya kalah, tak rela mengakui kesalahan, melainkan kalap seperti neo-nazi tersebut di atas. Maklum, masa kejayaan Khalifat, artinya masa kemanjuran tatanan yang menyatukan negara dan agama, itu masa lampau, masa pra-industrialisasi. Ini tidak saja bagi yang agamanya Islam, melainkan juga misalnya penyatuan negara dan agama Kristen seperti yang pernah berlaku di Eropa dulu (sebelum reformasi yang menjadi salah satu aspek peralihan ke tatanan madani yang mendasari keberhasilan penjajahan kolonial). Di Aceh pun, berlakunya hukum Syariat akan menjadi rintangan bagi kemajuan daerah itu dalam dunia globalisasi yang sekarang ini.

Segala sesuatu ini tidak lepas dari kekurangan dalam pendidikan ustaz dan ulama, yang kurang sadar akan adanya perkembangan budaya Islam secara terus-menerus sepanjang sejarah, bahwa agama Islam yang kian berkembang di sepanjang masa itu malah efektif benar sebagai tiang pancang kejayaan berbagai negara Islam. Mengapakah, dengan demikian, masih ada saja ustaz dam ulama yang mengajak umat untuk kembali ke agama Islam “asali” dan hukum Syariat? Mungkin karena dirinya tidak berilmu apa-apa selain itu. Agar bisa menjamin dirinya tetap dihormati di kalangan umat, terpaksalah membutakan umat, supaya sekadar ilmu “asali” yang dimilikinya itu dipandang “hebat”. Yang jelas, ulama demikian itulah sumber keterbelakangan masyarakat Islam.

Dalam agama lain pun demikian, dan imamatnya terpaksa menuruti perkembangan zaman. Misalnya agama Katolik mulanya menolak gambaran Kopernikus bahwa bumi mengitari matahari, karena dalam Alkitab ada kalimat seakan matahari mengitari bumi. Tetapi setiap murid sekolah Katolik zaman sekarang dalam pelajaran astronomi pasti diajar bahwa bumi mengitari matahari sesuai teori Kopernikus. Lebih celaka satu aliran Kristen fundamentalis yang menolak teori Darwin tentang evolusi jenis-jenis hewan, karena bertentangan dengan cerita penciptaan (kreasi) dunia yang termaktub dalam Perjanjian Lama. Adapun di setiap negeri Kristen di Eropa, yang diajarkan dalam pelajaran biologi di sekolah itu bukan teori fundamentalis tersebut (kreasionisme), melainkan teori evolusi Darwin.

Tetapi dengan masih adanya pengikut teori kreasionisme itu sampai sekarang juga, nyatalah bahwa jenis keyakinan pandir macam itu bukan sekadar sifat eksklusif sementara ulama kulit sawo matang beragama Islam, tapi yang kulit putih beragama Kristen (sungguhpun dulu pernah berhasil menjajah) itupun bisa tidak luput dari itu. Maka sebagaimana halnya fundamentalis Kristen itu tidak mewakili umat luas orang Kristen, begitupun halnya ulama kolot tidak mewakili umat Islam berpendidikan. Kesan negatif yang sering kita peroleh dari media disebabkan karena kejadian teroris yang banyak masuk berita. Hidup alim masyarakat madani yang mayoritas, yang setia pada ajaran berdamai Nabi Muhammad, itu sebaliknya tidak begitu sensasional. Alangkah baiknya apabila ulama lebih telaten memperhatikan dan membela mayoritas Muslimin madani ini, sehingga lebih dapat mewakili mereka dengan tuntas dan memadai dalam ujarannya di muka umum, dan tidak membuatnya harus malu di mata dunia.

Tambahan: 
Islam tidak hancur. Tetapi pengaruh sementara ulama dan ustaz berpandangan sempit yang pendidikannya kurang mengikuti kemajuan zaman itu memang sangat merugikan umat Islam, dan dapat berakibatkan kemerosotan masyarakat yang mayoritas beragama Islam.


© Waruno Mahdi 2009, 2010.
This text may be freely copied and multiplied on a non-profit basis. It can be downloaded as pdf-file (104 Kb).

 
Index