SiaR News Service <siar@minihub.org>
Mon, 13 Jul 1998 16:53:46 -0700
SiaR--Re: BERITA-BERITA TENTANG KERUSUHAN IRJA
Sender: owner-siarlist@minihub.org
Precedence: bulk

Date: Sat, 11 Jul 1998 18:55 +0200
Apparently-to: siar@mole.gn.apc.org
From: Waruno Mahdi <mahdi@FHI-Berlin.MPG.DE>

rebroadcasted on

Date: Mon, 13 Jul 1998 17:47:20 -0600 (MDT)
To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@clark.net
____________________________________________

Teman-teman redaksi SiaR yang baik,

Saya inging ucapkan selamat kepada teman-teman yang dengan konsekuen membawa berita yang merawankan hati/memprihatinkan dari Irian Jaya kepada pembaca di setiap pelosok tanahair maupun kepada kita-kita yang sedang di luar negeri. Terimakasih banyak-banyak untuk upaya Anda-anda ini.

Saya ingin melepaskan rasa sedih saya, melihat masih banyak kawan setanah air yang dengan mudah mencela gerakan perlawanan penduduk Irja sebagai gerakan separatis dan keburu membenarkan tindakan kekerasan aparat negara terhadapnya.

Perlu saya tandaskan terlebih dahulu, bahwa saya samasekali tidak mendukung pemisahan wilayah Irian Barat dari RI (lain halnya dengan Timor Timur yang memang telah kita duduki secara tidak sah baik dari segi hukum internasional, maupun dibanding dengan ketetapan batas-batas wilayah Republik Proklamasi 1945). Bagi yang berminat, saya pernah menanggapi tayangan seorang anggota OPM mengenai masalah ini, dan memuatnya di WWW pada alamat:

http://w3.rz-berlin.mpg.de/~wm/PAP/IrJa-n-OPM.html

Tetapi ada tiga kenyataan yang perlu kita sadari:

Pertama, wilayah Irian Barat itu baru kembali ke pangkuan pertiwi pada tahun 1963, setelah 13 tahun lamanya pisah dari wilayah dan bangsa Indonesia lainnya. Karena itu, tindakan-tindakan kekerasaan terhadap penduduk yang dilakukan oleh oknum-oknum yang bertindak sebagai aparat negara RI ditanggapi oleh penduduk Irian Jaya tidak sama seperti rakyat daerah lain menanggapinya. Itu ditanggap bukan sebagai tindakan oknum tertentu yang sama bangsa Indonesia, melainkan sebagai tindakan wakil-wakil bangsa Indonesia terhadapnya. Tidaklah mengherankan kalau bisa timbul syak-wasangka.

Kedua, bahkan sebelum permulaan masa Orde Baru, yaitu entah tahun 1963 atau 1964, ada suratkabar (khususnya "Berita Indonesia") yang mencatat adanya perlakuan kasar warga ABRI terhadap penduduk pribumi Irian Jaya yang menimbulkan keresahan di kalangan penduduk itu (waktu itu belum ada sensor kuat seperti pada jaman Orde Baru). Kita tahu sendiri, di masa Orba bahkan tambah banyak dan tambah gawat.

Laporan dari kalangan gereja yang telah diperkuat oleh KomHAMNas malah menunjukkan adanya pembunuhan dan penganiayaan penduduk pribumi serta penggusuran atau penghancuran rumah tinggal dan rumah ibadah dalam jumlah yang sangat mengejutkan. Jadi, fakta-fakta untuk memperkuat syak-wasangka tersebut sungguh amat serius.

Ketiga, penduduk pribumi Irian Jaya itu rata-rata berkulit hitam dan berambut keriting, berbeda dengan banyak warga ABRI ataupun petugas sipil pendatang yang didinaskan di propinsi tersebut, yang kulitnya berwarna sawomatang dan rambut kejat. Hal ini menimbulkan unsur rasial dalam pertentangan yang ada antara orang pribumi dan orang pendatang.

Khusus dalam masalah antara penduduk dan oknum ABRI yang mengasari atau menganiayainya itu, unsur ras ini berat sekali konsekuensinya. Apalagi setelah dipertajam dengan penghinaan-penghinaan seperti yang baru-baru ini dilontarkan oleh seorang perwira ABRI, bahwa mereka adalah "orang primitif".

Kejadian ini sekali lagi memperingati kita bahwa reformasi ini belum cukup dengan merombak struktur politik dan ekonomi. Tidak kurang penting juga reformasi dalam ABRI. Adalah jelas, bahwa kelakuan oknum ABRI yang membunuh dan menganiaya penduduk dan menghancurkan rumah dan tempat ibadahnya itu bertentangan benar dengan Pancasila, UUD, dan Saptamarga. Ini adalah satu kondisi yang sangat berbahaya bagi keamanan RI dan memerlukan pengelolaan secepat mungkin.

Tugas primer ABRI adalah membela keutuhan wilayah RI. Dalam kenyataan, kegiatannya di propinsi Irian Jaya telah menimbulkan bahaya akut lepasnya propinsi tersebut dari wilayah RI karena penduduk sudah tidak rela dikasari dan dianiyayai terus. Beginilah akibatnya pengebirian ABRI oleh Orde Baru sehingga penuh dengan oknum yang memungkiri Pancasila, UUD, dan Saptamarga.

Bagi kekuatan reformasi saya pikir penting sekali memberi reaksi yang tegas dalam hal ini, yaitu ramai-ramai memberi dukungan/solidaritas kepada penduduk Irian Jaya dan membela rakyat propinsi tersebut dari tindakan-tindakan kekerasan lebih lanjut. Kita harus pertama-tama mengerti bahwa bukan salah mereka kalau memasang bendera separatis. Itu cuma alat satu-satunya yang masih mereka miliki untuk menyalurkan kekecewaan dan kemarahannya yang sangat lumrah itu. Mari kita sediakan peluang rumah Indonesia reformasi yang memberi saluran yang lebih tuntas untuk perjuangan mereka yang adil itu. Mereka perlu melihat, bahwa orang Indonesia yang sesungguhnya bukan oknum-oknum aparat anti-Pancasila Orba.

Karena itu, kita jangan keburu mencari celanya dulu, melainkan lebih dulu menunjukkan rasa solider kita dengan mereka dan melakukan otokritik karena telah melalaikan kawan setanahair dalam penderitaan mereka. Mari kita buka pintu rumah Indonesia dalam semangat reformasi dan menerima mereka dalam rumah ini dengan segala keramah-tamahan, seperti yang semestinya dilakukan sejak dulu setelah 1963. Justru saat itu mereka malah ditraktir dengan sepatu lars!

Khusus kepada kawan-kawan mahasiswa saya serukan, tunjukkan rasa solider dengan korban di UnCen seperti halnya yang di Usakti kemarin. Kalau ada kesempatan, kirimlah delegasi-delegasi ke Irian Jaya untuk turut melindungi korban-korban, dan bahkan juga bendera separatis yang mereka kibarkan. Karena pengibaran bendera itu tujuan sesungguhnya bukan melawan kita, bukan melawan reformasi, bukan juga melawan RI, melainkan melawan aparat anti-Pancasila yang telah menganiaya mereka selama 35 tahun ini dengan meng-"atas nama"-kan RI secara palsu. Artinya melawan apa yang juga dilawan oleh seluruh gerakan reformasi!

Gerakan reformasi di pusat, kenalilah kawanmu di Irian Jaya!

Salam reformasi,
Waruno



Back to Index