Date: Tue, 8 Sep 1998 16:39:26 +0200 
To: Bahtera <bahtera@lists.singnet.com.sg>
Subject: Re: BT cina/tionghoa

Re: Cina / Tionghoa

Selama seminggu saya di luar kota. Tahu-tahu begitu kembali BT sedang ramai berdiskusi, antar lain tentang cina dan tionghoa.

Tionghoa/Tiongkok itu bukan dialek Mandarin, yang mana menyebutnya Zhonghua/Zhongguo, melainkan adalah dialek Xiamen (juga dikenal dengan nama dialek Amoi) yang menjadi sumber penting kata pinjaman dari bahasa Tionghoa kedalam bahasa-bahasa Asia Tenggara.

Sejarahnya setahu saya begini. Dalam sastra lama, baik yang Melayu maupun yang Jawa dll., istilah yang dipakai cina. Sejak permulaan timbulnya pers berbahasa Melayu dengan abjad Latin pertengahan abad ke-19 pun, yang dipakai yalah cina. Istilah tionghoa, kalau tidak salah, mulai timbul dalam periode antara kedua perang dunia, sebagai akibat satu pertalian idiel antara gerakan nasional kaum pribumi Indonesia dengan organisasi-organisasi masyarakat non-pribumi (baik Tionghoa, maupun Arab dll.). Dalam hal ormas Tionghoa, ikatannya dengan gerakan nasional pribumi dipererat lagi karena gerakan yang dipimpin oleh Sun Yat-sen di Tiongkok yang mendapat sambutan positif baik di kalangan gerakan nasional pribumi, maupun di kalangan ormas Tionghoa di Indonesia.

Setelah Proklamasi 1945 dan Konperensi Meja Bundar 1949 di Indonesia, dan perpindahan kekuasaan di Tiongkok dengan didirikannya "Republik Rakyat" pada tahun 1950, terjadi penjalinan hubungan diplomatik resmi. Pada waktu itu pun nama negara tersebut resminya dinyatakan "Republik Rakjat Tiongkok" (dalam ejaan waktu itu). Pemakaian kata-kata Tiongkok dan Tionghoa itu tambah mantap pada masa Konperensi Asia-Afrika di Bandung 1955, ketika menjadi populer untuk mendahulukan nama negeri orang yang sesuai dengan nama pribumi negeri bersangkutan. Misalnya populerlah negeri Siam / Thailand disebut Muangthai, begitu pun Sailan / Ceylon disebut Serilangka (walaupun di negeri itu sendiri, pengantian nama resmi menjadi Sri Lanka baru dilakukan belakangan).

Jadi, terlepas dari segala aspek lainnya, istilah bahasa bakunya pada periode 1950 - 1965 itu tionghoa dan tiongkok, dan bahkan dalam bahasa kolokuial pun orang umumnya memakai kedua kata tersebut, sedangkan kata cina itu penggunaannya minimal sekali. Selain itu, pada period itu ada satu perbedaan, yaitu kalau memisuh seorang keturunan sana secara "penasaran" atau "dongkol" atau "benci", maka pisuhannya itu cina' lu!, dan tidak pernah tionghoa lu! (dimana yang dimaksud dengan lu ialah kau-nya bahasa Jakarta).

Artinya, dalam periode tersebut, tionghoa itulah kata yang baku dan netral, sedangkan cina itu sangat kolokuial dan bertendens menghina. Sudah lumrah, waktu pihak penguasa merasa perlu melancarkan kampanye politik melawan negara yang bersangkutan, kata cina lah yang dipakai, dan kemudian diseragamkan untuk seluruh masyarakat. Jadi, dari segi linguistik yang bersih mengobservasi saja, kita mendapatkan periodisasi berikut:

  1. istilah dari "dahulu kala" adalah cina
  2. dengan berkembangnya gerakan nasional, orang mulai memakai tionghoa (disamping cina)
  3. dalam periode demokrasi liberal (1950-1957), dimantapkan pemakaian tionghoa
  4. sekitar 1966 Orde Baru menghidupkan kembali istilah cina, sedangkan yang memakai tionghoa bisa dituduh pro-G30S.

Adalah di luar segala kesangsian, bahwa pergantian istilah sekitar 1966 itu memang dilakukan dalam rangka "menyakiti hati". Saya setuju dengan beberapa Bahtrerawan lain bahwa Bahtera ini bukan tempatnya melakukan diskusi politik. Maksudnya tentu saja, selain masalah politik pembinaan bahasa. Dalam hal ini, saya pikir, kita terbentur pada satu persoalan etik bahasa (kalau istilah tradisionalnya, yang perlu kita ingatkan kembali disini mungkin budi bahasa). Yang saya maksud: tak soal apakah RRC (dulu RRT) itu tersangkut atau tidak tersangkut, tepatkah menggantikan nama seluruh bangsa yang notabene tidak semuanya tinggal di dalam negara tersebut, itu sedemikian rupa, dengan kata yang berkonotasi memisuhi? Mengapa orang Tionghoa di Taiwan, di Singapura, di Indonesia, di Amerika Serikat, dst., dst., harus turut kena getahnya lantaran pemerintah Orde Baru lagi cekcok dengan RRT/RRC? Dan kemudian, kenapa tidak dibatalkan setelah pemerintah Orde Baru akur kembali dengan RRT/RRC?

Saya pikir, kita pasti ketawa geli, sekiranya Nederland pada tahun-tahun 1945-1949 secara resmi menyebut RI itu "Repoeblik Inlander". Nah, justru yang konyol seperti itulah, apa yang kita sendiri dipaksa oleh Orde Baru untuk berbuat pada tahun 1966 kemarin itu. Saya melihatnya bukan sebagai satu tindakan politik (walaupun oleh Orde Baru itu memang dilakukan sebagai tindakan politik), melainkan sebagai satu masalah kebudayaan bahasa. Kejadian tersebut telah melukai kebanggaan saya akan Bahasa Indonesia, yang luka-luka itu baru akan terlipur kalau kita bisa sepakat untuk kembali ke pemakaian istilah seperti dalam periode tahun 1950-an.



Back to index