Waruno Mahdi’s

WebLOG Virtual — Bhs. Indonesia II

— Adat, Agama, Kebudayaan, Hukum —

WM
NB: Apa yang tercantum dalam halaman ini semata-mata mencerminkan pendapat pribadi si-penulis sendiri saja.
 
Kepada: FaceBook / Goenawan Mohammad 29.04.2015
Perihal: HUKUMAN MATI
Tanggal:  30 April 2015

Pada dasarnya, saya anti hukuman mati, sebab:
(1) bagi setiap orang yang percaya akan Tuhan Allah, hidup atau mati itu hanya Dia-lah yang menentukan, sedangkan kepercayaan kepada-Nya itu tercantum dalam Mukadimah UUD sebagai sila pertama Pancasila;
(2) Hukuman mati itu pembunuhan, dan suatu kejahatan tidak dapat dipulihkan dengan turut melakukan suatu kejahatan;
(3) Vonnis setiap hukuman, termasuk hukuman mati, harus berdasarkan bukti, sedangkan baik penuntut yang mengajukan bukti itu, maupun hakim yang menilai ketepatan bukti itu, semuanya sekadar manusia yang bisa silap, ataupun bahkan terkadang korup.
Di Amerika Serikat banyak contoh hukuman mati yang belakangan ditarik kembali karena ternyata keliru pembuktiannya — sayangnya tidak jarang ditarik kembali setelah “narapidana” yang bersangkutan dihukum mati alias mendiang.

Kepada: FaceBook
Perihal: ... di-dholim-i, ...
Tanggal:  2 Maret 2013

Iya, ya. Dulu orang suka bilang "zalim", sekarang kok mesti jadi "dholim" sih?

Tanggal:  8 Maret 2013

...., kalau kita merasa perlu sok jago, mungkin karena dalam hati sangsi apakah memang jago, kan?
Jadi kalau mesti belagak alim, itu mungkin sangsi apakah dirinya memang alim, apa?

Tanggal:  26 November 2011
Kepada: GELORA45@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com, wahana-news@yahoogroups.com
Perihal: Re: Belanda Kurang Berusaha Soal Papua

Maaf, ........, Indonesia sudah 66 tahun merdeka, tidak lagi jadi jajahan Belanda. Artinya, yang kurang berusaha membela penduduk Papua, melindunginya dari kesewenang-wenangan aparat, itu bukan Pemerintah Belanda, melainkan Pemerintah Indonesia.

Tak cukup kita sadari hal ini, melainkan harus juga sadar bahwa pemerintah RI dalam satu negara demokratis itu mewakili seluruh bangsa, bertindak ATAS NAMA segenap bangsa Indonesia. Maka kalau kawan setanahair di Papua merasa dianiayai oleh aparat negara RI, berarti seluruh bangsa Indonesia turut bertanggung jawab!

Maka sudah saatnyalah, pemerintah dan umum jangan lagi pura-pura tidak tahu-menahu. Tak usah berlagak mencari-cari kekurangan ini-itu dalam praktek otonomi dsb., melainkan sumber pokok segala persoalan adalah perlakuan aparat terhadap penduduk Papua yang bagaikan aparat kolonial memperlakukan bangsa jajahan. Ini berarti oknum aparat bersangkutan itu makar, karena tidak mengakui penduduk pribumi di Papua itu sebagai bagian penduduk NKRI.

Salam, Waruno

Tanggal:  22 Agustus 2010
Kepada: wahana-news@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com
Perihal: Re: Untuk Pak Mahdi: Septemer 11, 2010 hari pembakaran Quran
          > Saya setuju membakar Bible dan Quran tidak layak, tapi sayang terlihat
          > Pak Mahdi tidak mengutuk terhadap pembakaran gereja (yang sudah jauh
          > melampaui buku) yang telah
          > mencapai lebih dari 1000 gereja di Indonesia.

Masukan yang saya beri respons kemarin itu kebetulan secara kongkrit mempersoalkan pembakaran Quran, maka repons saya pun to the point. Lepas dari itu, pembakaran gereja dan rumah ibadah agama manapun bagi saya sama terkutuknya, dan kalau pemerintah belum menyanggupkan diri untuk mencegahnya, dan menindaki apabila sampai terjadi, menunjukkan bahwa UUD '45 di Indonesia secara de facto belum berlaku penuh.

Tetapi sama halnya bahwa terorisme al-Qaida jangan disamakan dengan agama Islam (demikianlah message yang dipesankan oleh pembangunan mesjid di dekat Ground Zero itu), maka perlu kita ingat ada mesjid di Pakistan diserang oleh Taliban. Dan jangan lupa juga, korban orang Islam akibat terorisme Taliban dan al-Qaida di Afganistan dan Pakistan itu kiranya jauh melebihi korban kaum agama lain. Osama bin Ladin dkk itu bukan pemimpin agama, melainkan oknum bermodal yang pandai memusatkan dana dan berorganisasi sambil menyalahgunakan orang-orang kurang terdidik atau yang berpenderitaan psichis sehingga mau diperalat. Yang tersebut terakhir termasuk beberapa orang Eropa yang mulanya Kristen, lalu masuk apa yang disangkanya "Islam" untuk ikut-ikutan berteror.

Yang penting, barangsiapa di antara kita masih merasa ikatan kepada prinsip dasar bhinneka tunggal ika, hendaklah jangan mengadu domba atau mengincari agama ini atau agama itu. Kecuali itu, mengingat bahwa umat Islam di Indonesia itu kira-kira 80 atau 90 % dari penduduk, maka sadar atau tak sadar, anti Islam itu lebih-lebih lagi berarti juga anti Indonesia (sesungguhnya, anti Hindu, Katolik, Protestan, Buddha pun demikian).

OO, sungguhpun saya pribadi tidak keberatan ada gereja ataupun klenteng dibangun di Mekah, tetapi saya pikir tidak bakal diterima, sebagaimanapun saya tidak yakin orang akan setuju dengan pembangunan mesjid ataupun klenteng di Vatikan.
Ground Zero bukan satu kawasan suci agama tertentu. Selain itu, korban yang mati sebagai korban 9/11 termasuk orang-orang Islam yang bekerja di NY WTC atau kebetulan saat itu sedang menjenguk.

Salam 
Waruno


 
Tanggal:  19 Agustus 2010
Kepada: wahana-news@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com
Perihal: Re: Septemer 11, 2010 hari pembakaran Quran dunia

Pada pendapat saya, demonstrasi paling menyolok umat Islam melawan teroris yang menyerobot nama agama mereka itu pembangunan Mesjid di dekat Ground Zero di New York sebagai tanda solidaritas umat Islam dengan masyarakat New York lainnya yang sama-sama menjadi korban 9/11. Lihat misalya artikel dalam NY Times 12 Desember yl: http://www.nytimes.com/2009/12/09/nyregion/09mosque.html. Pembakaran buku pada umumnya, dan buku suci suatu agama manapun juga pada khususnya, itu menurut saya satu pengakuan terang-terang daripada kebiadaban mereka-mereka yang melakukan pembakaran.

Salam 
Waruno

Tanggal:  29 Desember 2009
Kepada: wahana-news@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com
Perihal: Apa benar kalau Islam dikatakan “hancur”?

Sudah disunting kembali dan, karena terlalu panjang, dipasang on-line dalam satu lembaran tersendiri pada tgl. 4 Pebruari 2010.

Bisa juga diturunkan berupa file PDF (104 Kb).

Tanggal:  10 September 2009
Kepada: wahana-news@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com
Perihal: PETISI: KAMI MENOLAK PEMBAKARAN BUKU!! (Boni Triyana, 7 Sept. 2009)

Saya minta maaf, terlambat sekali menyambut inisiatip Bung Boni Triyana yang sungguh perlu dan penting ini.

Di negeri Sudan berlaku apa yang mereka namakan "hukum Syariah", yang khususnya melarang wanita memakai celana. Hukumannya kalau ketangkap di jalanan dengan berpakaian celana itu 40 pukulan cambuk. Sudah ratusan wanita yang dikenakan hukuman tersebut, baru seorang yang tampil sekarang membangkang. Namanya Lubna Hussein, maju naik banding, menggugat "hukum" sesat itu.

Kita tahu, hukum adat primitif jahiliah macam itu tidak ada sangkut pautnya dengan Syariah (sungguhpun banyak versi-versinya), apalagi dengan agama. Di Indonesia pun lama sekali, macam-macam oknum menyalahgunakan, apakah itu dengan aksi-aksi kekerasan oleh FPI, ataukah wanita yang pulang kerja malam dianiaya dengan alasan tuduhan "pelacur".

Tapi kini, setelah lebih dari 10 tahun bersilam sejak Soeharto dijatuhkan, masyarakat umum sudah maju, cukup waktu dan kesempatan untuk berangsur-angsur mencerahkan sorotan penglihatan dan alam pikiran. Maka kelompok Islam liberal yang beberapa tahun lalu masih sedikit terpencil itu kian berpengaruh, cara berpikirnya makin meluas dalam kalangan "silent majority"nya ummat luas, makin jadi "mainstream". Sudah seyogyanjalah, pemerintah cq Departemen Agama pun bersuara menggugat "pembajakan agama Islam" oleh teroris, seperti dikemukakan dalam khotbah HM Atho Mudzhar pada buka puasa di Istana Negara tgl. 27 Agustus kemarin.

Justru dalam suasana demikian ini, perlu kita nilai dengan teliti, makna daripada gejala seorang guru besar ilmu sejarah, Prof. Dr. Aminuddin Kasdi, yang tersangkut aksi pembakaran buku itu.

Amerika Serikat terakhir ini sedang heboh sehubung proyek HealthCare Presiden Barack Obama untuk menjamin agar penduduk yang kurang berpunya itupun bisa mendapat pengobatan dan pemeliharaan kesehatan yang tuntas. Hebohnya terutama karena lawan-lawan proyek itu tidak tanggung-tanggung serangannya terhadap Presiden Obama, sampaipun menuduh beliau "nazi". Tidak mereka sadari, mungkin, bahwa dengan demikian mereka telah mengaku tidak punya argumen. Karena yang melontarkan penghinaan radikal macam itu bukan orang gelandangan atau gerombolan tak berpendidikan, melainkan politikus. Jadi, kalau mereka sampai merosot ketingkat rendah macam itu, itu bukan karena bodoh atau buta huruf, melainkan benar karena habis akal, tidak punya dasar-dasar faktual atau logis untuk berargumentasi secara rasional melawan proyek Presiden Obama itu.

Demikianlah juga keadaannya dengan Aminuddin Kasdi. Ini bukan orang buta huruf dari pinggir jalan yang tidak tahu-menahu, ini guru besar universitas yang bergelar "profesor doktor", orang yang telah melulusi pendidikan ilmu pengetahuan, maka tahu cara berargumentasi secara rasional, cara penggalian data, pengacuan sumber, jalan pembuktian ilmiah. Tetapi setiap pembakaran buku itu pengakuan kemiskinan rohani dan kekurangan iman. Karena, kalau dia sampai merosot ke tingkat kebiadaban sedemikian rendahnya, sampai membakar buku yang isinya ditentang olehnya, maka itu berarti dua:

   –  

Yang satu, dia tidak punya dasar rasional apapun untuk membantah isi buku itu; dan

   –  

yang kedua, dia tidak memiliki kejujuran untuk menghadapi kenyataan itu dengan mengaku kekeliruan pendapatnya yang semula.

Sungguh kasihan. Hanya saja, dia bukan anak kecil atau orang pandir. Dia orang berkedudukan yang memegang tanggung jawab. Setiap tahun dia menguji dan memberi nilai kepada mahasiswa, termasuk juga menentukan "nasib" mereka apakah "lulus" atau tidak. Untuk berhak berfungsi demikian, dia harus memenuhi tuntutan minimal yang layak, dan dengan tersangkut aksi pembakaran buku itu, dia telah gagal, telah mengaku di muka umum dirinya tidak memenuhi tuntutan minimal budi santun dan adab yang mestinya dipenuhi seorang guru besar.

Maaf ya, tapi demikianlah menurut saya makna hakiki daripada pembakaran buku itu. Lawan-lawan buku itu tidak punya argumen, dan tidak memiliki iman kejujuran untuk mengaku kenyataan itu. Tindakan mereka itu tindakan orang kapok yang tinggal cuma bisa mengamuk saja.

Tak lupa, saya mohon kepada Bung Boni Triyana agar nama saya turut disertakan dalam daftar pendukung petisi anti pembakaran buku Soemarsono itu. Sebelumnya, banyak terimakasih.

Wassalam

Waruno Mahdi
(bahasawan dan sejarawan, di negeri Jerman)

Tanggal:  3 Agustus 2009
Kepada: mediacare@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com, wahana-news@yahoogroups.com
Perihal: Ulama Doakan Pelaku Teroris Dilaknat (TEMPO Interaktif, 01.08.2009, 16:42 WIB)

Syukurlah ada ulama mendoakan laknat terhadap pelaku pemboman hotel-hotel itu serta para dalangnya. Memang, sekirapun pemerintah berhasil menangkap Noor Din Top atau dalang tersangka yang lain, itu hanya penyelesaian sementara. Selama dana luarnegeri tetap mengalir, akan ada saja pengganti yang melanjutkan.

Masih banyak pemuda dan remaja miskin, tak sempat mendapat persekolahan tuntas, laju saja menjadi makanan empuk bagi “ustad” palsu bayaran itu. Mereka di-brainwashing untuk menjadi pembom bunuhdiri dengan diiming-imingkan “berjihad”. Karena itu yang paling mendesak yalah agar murid-murid di pesantren dan sekolah dari Sabang sampai Merauke dijelaskan, bahwa itu bukan jihad melainkan dosa berat. Pelakunya pasti tidak dinanti 40 bidadari, melainkan langsung jatuh dari Siratul Mustakim masuk neraka. Indonesia tidak tengah diserang tentara musuh, jadi tidak ada alasan mengerahkan pemuda membela kampung halaman dengan mempertaruhkan nyawa. Yang dibunuh oleh pembom-pembom itu orang sipil yang tidak kenapa-napa.

Baru kalau itu menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat luas, bahwa pelaku pemboman macam itu alamatnya kejeblos masuk neraka, sembarang Noor Din, biar itu Top atau Bottom, dengan seberapapun dananya, tidak akan berhasil begitu mudah merekayasai orang muda menjadi pembom.

Wassalam

Waruno Mahdi

Tanggal:  17 April 2008
Kepada: nasional-list@yahoogroups.com, wahana-news@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com
Perihal: Pemerintah Larang Ajaran Ahmadiyah (sk Indopos tgl 17 April 2008)

Lagi-lagi, pemerintah menyediakan diri untuk dijadikan alat pendongkel kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945.

Sesungguhnya, didirikannya saja satu badan bernama "Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat" (Bakorpakem) sudah merupakan pukulan berat terhadap Hak-hak Azasi Manusia (HAM) Indonesia pada umumnya, dan terhadap Undang-undang Dasar RI pada khususnya. Kok ya tidak punya rasa malu sih, mau menjadi anggota satu badan yang bernama demikian.

Karena pemerintah rupanya suka lupa, mari kita sebelum membaca artikel Indopos di bawah ini, terlebih dahulu menyimak kembali:

UUD 1945: Pasal 29, sub (2): 
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya    
     masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Lihat: http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=336773

Tanggal:  14 Januari 2007
Kepada: wahana-news@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com
Perihal:  Ponsel " Penyebab hilangnya Adam Air" ??? (“Marcopolo”)
          > Tetapi Manusia sering tidak dispilin dan dalam keterbatasan PENGETAHUANNYA
          > tentan  Hukum, Paraturan atau Larangan ( sering tanpa ...
          ...snip...
          > ... TIDAK JARANG kita sebagai Manusia se-enaknya TIDAK
          > MENGACUHKAN dan tidak memperhatikan - dan bahkan Masa Bodoh dan Melanggar

Di Indonesia, ketiadaanan disiplin menaati peraturan dan hukum itu cukup tersebar luas, tetapi, menurut pikiran saya, itu bukan terutama karena orangnya masabodoh atau acuh-tak-acuh. Orang masabodoh itu ada dalam semua masyarakat di dunia, termasuk di negeri-negeri yang penduduknya umumnya relatif disiplin. Di Indonesia ada beberapa faktor khusus yang menurut pikiran saya menyebabkan masyarakat tidak disiplin, yaitu adanya pengalaman cukup luas di kalangan penduduk, bahwa

(1) 

untuk bisa berhasil sering perlu melanggar hukum;

(2) 

mereka yang selalu taat pada peraturan malah rugi, diri dan anaknya kelaparan;

(3) 

petugas pihak berwajib yang semestinya menjaga ditaatinya peraturan itu sendiri malah dilihatnya sering melanggar.

Memang, setiap materialis mestinya mengerti, bahwa semua asas moral dan etik itu pada dasarnya bersandar pada kenyataan-kenyataan kehidupan riel. Apakah itu larangan korupsi, atau larangan merokok, ataupun larangan pemakaian ponsel, segala sesuatu itu, kalau dilanggar ada akibatnya yang amat runyam, yang sering tidak semuanya langsung kelihatan atau mudah dimengerti.

Salam, Waruno

Tanggal:  14 Januari 2007
Kepada: wahana-news@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com
Perihal:  Mega Dipastikan Capres PDI-P 2009 (Kukuh Manggala, 13 Januari)
          > Saya tidak ingin Indonesia menjadi negara teokrasi/negara berdasarkan
          > syariah, yang akan mengakibatkan runtuhnya NKRI - Indonesia ...
          ...snip...
          > ... akan memisahkan diri. Marilah kita fokuskan perjuangan
          > lingkup kepentingan nasional, bukan kepentingan kelompok/golongan.

saya setuju bahwa negara teokrasi dan negara berdasarkan Syariah pasti mendatangkan kehancuran bagi Indonesia. Tetapi menurut saya, sebabnya bukan sekadar akan pecah berkeping-keping karena tidak lagi mencakupi komunitas-komunitas lain-agama, sungguhpun itu tidak keliru. Tetapi Sekiranya penduduk Indonesia 100% Islam sajapun, itu akan mendatangkan kehancuran atau keruntuhan juga.

Kehukuman yang berdasarkan agama itu hanya bermanfaat bagi negara pada tingkit-tingkat perkembangan feodal dan pra-feodal. Adalah satu ciri umum di semua negeri yang telah melampaui taraf perkembangan feodal, mengalami perkembangan ekonomi berdasarkan usaha dan niaga dalam tatanan masyarakat madani yang akhirnya menuju ke taraf negeri industri, bahwa sistem negaranya lepas dari hukum agama, berdasar pada dipisahkannya negara dan agama. Ini bukan masalah yang masih perlu ataupun bisa didiskusi ataupun disidik. Barang siapa tidak memahami, biarpun dia mengaku ulama sehebat-hebatnya, itu orang ignoran, artinya, jahili

Salam, Waruno

Tanggal:  8 September 2006
Kepada: nasional-list@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com, wahana-news@yahoogroups.com
Perihal: Kemunduran Islam dan momentum kebangkitannya (Kukuh Manggala)
          > .... .... ..... Kalau kita simak, Eropa telah maju
          > tidak saja karena dilandasi moralitas dari agama Keristen, namun masih
           ...snip...
          >... di kawasan Islam sampai
          > mungkin abad ke12, menjelang itu para filsuf Islam sangat mencermati logika
          > pada falsafah Yunani.

Pertama ingin saya tambahkan: kemajuan Eropa itupun mencermati logika pada falsafah Yunani Kuno, tapi (a) mencermatinya itu terutama berkat filsuf-filsuf dunia Islam! dan (b) ilmu pengetahuan Yunani Kuno itupun terutama bersumberkan ilmu pengetahuan Timur Dekat. Kecuali itu, selain dari Yunani, ilmu pengetahuan dunia Islam kemarin itu juga mendapat masukan penting dari India. Jadi, khazanah ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu bukan "Barat" atau pun "Islam", melainkan milik bersama segenap umat manusia, karena telah menyerap dari segenap umat manusia itu.

Satu hal lagi yang mungkin perlu ditandaskan sehubung dengan problematika ini: di Eropa pun, dulu, kemajuan itu disertai satu konfrontasi yang amat tajam dengan kekolotan imamat, sampai di dalam Gereja Kristen sendiri terjadi perpecahan atas beberapa mazhab. Jadi, apa yang kita lihat pada sikap sebagian alim-ulama Islam di Indonesia sekarang ini tidak aneh, dan juga tidak "khas Islam" (selain dalam sejarah agama Kristen, dapat juga dicari contoh-contoh serupa dalam sejarah agama Hindu, dll.). Yang penting diperhatikan, menurut saya, jangan sampai kritik terhadap alim-ulama kolot itu bermutasi menjadi serangan terhadap agama pada umumnya, atau terhadap Islam pada khususnya. Yang lebih penting: alim-ulama kolot itulah yang memperlemah dan merusak agama. Akibatnya, misalnya, orangtua alim-alim mengirim anaknya bersekolah di pondok pesantren, tahu-tahu setelah lulus pengetahuannya sangat kurang, sehingga kalah saingan dengan lulusan sekolah lain. Senjata makan tuan, kan?

Bangsa Indonesia bukan bangsa tempe, bukan bangsa bodoh, melainkan tidak kalah potensi inteleknya dengan bangsa lain manapun, apakah Eropa, India, Tionghoa, Jepang, atau Amerika. Terbukti tidak saja pemenang Olimpiade Fisika Internasional anak Indonesia, tapi insinyur-insinyur asing di Cilegon sampai tercengang waktu pegawai Indonesianya berhasil meloloskan kran lewat satu jembatan yang mereka yakin tak dapat dilalui. Contoh demikian masih banyak lagi dapat dikumpul. Jadi, kalau Indonesia masih agak ketinggalan dengan India atau Tiongkok, itu bukan salahnya anak-anak yang kurang rajin bersekolah, melainkan bapak-bapak yang membiarkan didikan sekolah tidak setaraf dengan sekolah asing.

Salam, Waruno

Tanggal:  11 Juni 2006
Kepada: nasional-list@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com, wahana-news@yahoogroups.com
Perihal: Fw: [LISI] Wapres JK dan Syariat Islam (Arif Harsana)
          > Sesuai dengan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh
          > Darussalam, pemberlakuan syariat Islam di NAD memang hanya bagi kaum
          > Muslimin. Jelas koq disebut dalam UU. makanya hukum cambuk dllnya itu tidak
          > diberlakukan bagi kaum non-Muslim.

Sayang sekali, masalahnya dalam penglihatan saya masih jauh lebih rumit dan remang-remang daripada itu.

Sesungguhnya, problem paling gawat dalam pemberlakuan hukum pada umumnya di Indonesia, prinsipnya belum sembuh dari perusakan yang dialami oleh azas yudikatif selama kekuasaan Orde Baru: yaitu, prinsip asali pemberlakuan suatu hukum apabila ada tanda bukti tersentuhnya atau terlanggarnya hukum tersebut oleh perbuatan pihak tertentu atau perkembangan atau kejadian tertentu, itu diganti dengan prinsip baru, yaitu: pemberlakuan suatu hukum apabila ada kepentingan atau kehendak pihak penguasa untuk memberlakukan hukum tertentu dengan mempergunakan tanda bukti yang ada atau diada-adakan. Artinya, (a) ada pelanggaran tapi penguasa tidak merasa dirugikan -- ya tidak diapa-apai; (b) ada pelanggaran dan penguasa kebetulan berkepentingan untuk menindak, ya ditindak; (c) tidak ada pelanggaran, tetapi penguasa berkeperluan untuk menindak, ya ditindak, sedangkan alasannya bisa dibikin ada.

Selama elite politik belum menyadari dan menginsafi keperluan untuk mencampakkan prinsip kehukuman a-la orda Baru ini secara azasi, segala harapan akan satu bentuk negara hukum itu tinggal impian isapan jempol saja. Itu sangat saya sesalkan, tapi begitulah realitasnya ... sayangnya.

Konkret soal hukum syariah, maka selain problem tersebut di atas masih ada problem kedua, yaitu warisan institusionalisasi ignoransi sebagai dasar kenegaraan sepanjang periode Orde Baru. Sesungguhnya, pemberlakuan hukum syariah itu satu hal yang luarbiasa rumitnya, dan saya kemarin tercengang saja waktu mendengar orang seenaknya "memutuskan" UU agar "hukum syariah" itu mendadak sontak "berlaku" di Aceh. Pertama, hukum syariah itu macam-macam variasi dan interpretasinya, jadi, timbul pertanyaan:

(1) 

bolehkah pemerintah atau Mahkamah Agung atau MPR atau bahkan sekadar kementerian keagamaan seenak sendiri memutuskan, variasi dengan interpretasi yang manakah dari semuanya itu yang diberlakukan? Kalau ya, maka

(2) 

berdasarkan apa itu mau ditentukannya, dan kemarin itu sudah ditentukan atau belum menentukan pilihan variasi itu untuk Aceh?

Sudah sekian saja?

Oh, belum! Mereka "lupa", bahwa agama Islam sajapun ada beberapa mazhabnya. Apakah itu penting? Ya, karena misalnya, sudah dikatakan semula, itu hanya berlaku untuk orang agama Islam. Yang tidak agama Islam tidak kena hukum cambuk.

(3) 

Kalau saya orang Islam, pasti sudah berontak, kenapa dalam satu bangsa yang 90% orangnya Islam, kok justru penganut agama mayoritas ini didiskriminasi, untuk pelanggaran tertentu dicambuk, sedangkan orang yang lain kalau berbuat hal sama tidak dicambuk! apakah itu adil? apakah itu bukan diskriminasi terhadap orang Islam? Timbullah masalah lebih lanjut, yaitu

(4) 

apakah hukum syariah itu sama untuk setiap mazhab, apakah syariahnya Islam Sunnah sama dengan yang Syiah, dan juga seperti yang Ahmadiah? Yang lebih gawat lagi, kemarin ada yang menyatakan bahwa orang Ahmadiah itu "bukan Islam"! Saya mau lihat, kalau ada rekan Ahmadiah datang ke Aceh dan berbuat onar yang hukumannya hukum cambuk, apakah tiba-tiba toh direken Islam juga dan dicambuk, ataukah tetap dianggap Non-Islam sehingga bebas cambuk? Dan kalau ya, atau tidak, dengan alasan apa? Jangan dipandang enteng lho, pukulan dengan cambuk itu hukuman yang amat berat, tidak bisa begitu enteng-enteng asalan saja membuat-buat alasan untuk ya, diberlakukan deh, atau tidak, tidak diberlakukan saja ah!

Tetapi problematika mazhab tidak selesai di situ. Baik Agama Buddha periode kerajaan Asyoka, begitupun Konghucu periode dinasti Qin, atau Kristen periode Kaisar Konstantinus atau Karel Agung, itu semuanya mengenal azas hukum yang serba kejam, dengan macam-macam bentuk hukuman yang mengerikan. Dalam peradilan Kristen Zaman Pertengahan dulu ada aturan orang dibakar hidup-hidup! Jadi, kalau dalam agama Islam periode Khalifat pun ada berbagai bentuk hukuman yang kejam-kejam, itu sudah sangat lumrah bagi tingkat perkembangan ekonomi dan sosial periode itu. Hukum syariah itu diformulasi pada waktu itu, untuk diberlakukan pada masa itu. Di Jaman Khalifat sajapun, tak jarang diubah, atau diamandemen, atau diperlengkap, dsb. Tidaklah mengherankan, bahwa banyak orang Islam yang moderen mempunyai interpretasi syariah yang lebih maju, yang tidak menurutsertakan hukuman cambuk dsb. Apakah orang Islam ini tidak seperti mazhab lain, apakah mereka tetap mesti dihukum cambuk? atau disederajadkan dengan Ahmadiah, atau Kristen, atau Buddha, atau Konghucu, yang tidak usah dicambuk?

Lalu kemudian, Eropa mengalami kemajuan ekonomi dan sosial, maka hukumnya pun terpaksa direformasi, agar tidak menghindari kemajuan ekonomi. Sampai-sampai hukum dilepaskan dari agama. Tiongkok dan India kini mengalami kemajuan ekonomi yang amat pesat. Sekarang silakan Anda bayangkan, kalau hukumnya masih seperti waktu dinasti Qin atau Kerajaan Asyoka atau dalam Mahabharata, apakah juga bisa mengalami kemajuan seperti yang sekarang ini? Jangankan jauh-jauh, kalau di Tiongkok tetap memaksakan prinsip hukum Maoisme seperti ketika Revolusi Kebudayaan Proletar dengan "Pengawal Merah"-nya kemarin itu, apakah Tiongkok sampai maju seperti sekarang ini?

Maka, kalau ada petro-dolar mengalir dari mancanegara untuk menyuap alim-ulama tertentu untuk mempertahankan hukum syariah dari Zaman Pertengahan itu, apakah itu bukan untuk menjamin, jangan sampai Indonesia pun sampai maju ekonominya seperti Tiongkok dan India? Apakah bukan gara-gara petro-dolar itu, dan bukan karena taat agama, maka FPI itu bergerombol seperti "Pengawal Merah" dulu?

Begitulah, kalau orang mengeluarkan undang-undang tanpa dipikirkan lebih dahulu, enak saja "memberlakukan" syariah untuk Aceh dengan bersandar kepada ignoransi institusional Orde Baru, notabene setelah Soeharto-nya sendiri "lengser".

Salam, Waruno

Tanggal:  10 April 2006
Kepada: nasional-list@yahoogroups.com, wahana-news@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com
Perihal: sekali lagi soal RUU APP

Berikut tulisan tentang RUU APP yang dua minggu lalu saya kirim ke majalah Tempo, tetapi mereka sudah banyak memuat tulisan tentang itu, sehingga mungkin terlalu banyak.

Salam, Waruno

[Bisa juga diturunkan berupa file PDF (84 Kb)]

Negara Jangan Sampai Coba Menyaingi Tuhan

Waruno Mahdi

Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sudah beberapa minggu masuk berita terus dan menjadi bahan perbincangan masyarakat. Sungguh satu contoh partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi yang amat menggembirakan.

Perhatian masyarakat untuk isu pornografi ini lumrah. Kawasan Asia makin berkembang teknik dan industrinya; penduduk sampai di pelosok pedalaman tidak lagi terisolasi dari dunia moderen. Tetapi bersama keringanan yang didatangkan teknik mutakhir bersama alat komunikasi dan teknologi informasinya, terjadi berbagai gejolak kebudayaan yang dirasa merongrong adat dan santun tradisional. Sedangkan segi-segi tertentu yang dalam masyarakat tradisional sudah ada, tetapi tidak begitu ditonjolkan, itu tidak lagi tersembunyi di balik tabir. TV dan internet membeberkannya terang-terangan tanpa mengenal malu.

Masyarakat tradisional sudah semestinya cemas dan menaruh harapan besar bahwa RUU APP ini bisa membendung apa yang diperhatikannya sebagai proses perusakan moral. Sesungguhnya sudah cukup banyak suara dari pihak ahli yang lebih kenal dengan seluk-beluk penanganan masalah moral dalam dunia modern, yang was-was, memperingati bahwa problemnya tidak dapat ditanggulangi dengan UU APP yang dirancangkan itu, karena efeknya yang positif akan sangat kecil dibandingkan dengan efek yang negatif.

Selain akibat negatif yang relatif gamblang, ada yang tersamar yang justru lebih berbahaya. Di antara yang cukup gamblang, pengaturan dan pembatasan kebebasan berpakaian tak mungkin secara universal mengindahkan adat berpakaian segenap bunga rampai sukubangsa bhinneka tunggal ika ini. Akibatnya bisa mengganggu kekompakan Negara Kesatuan RI. Selain bisa bentrok dengan pakaian daerah, pasti juga berbentrokan dengan pakaian khusus berjenis-jenis olahraga. Kalau yang dibatasi itu pakaian satu jenis kelamin saja, misalnya perempuan, maka selain melanggar Pasal 27 ad 1 Undang-undang Dasar (Segala warga negara bersamaan kedudukannya ...) itu juga menutup akses perempuan ke sejumlah bidang olahraga.

Pelarangan pornografi pun ada ekor-ekornya, karena internet tidak bisa disensor. Dengan UU APP pun orang yang mau melihat gambar cabul cukup dengan mendatangi warung internet, kalau tidak punya komputer di rumah. Tetapi masalahnya masih jauh lebih gawat dari itu.

Di Amerika Serikat dari tahun 1920 sampai 1933 berlaku perundang-undangan “Prohibisi Nasional terhadap Alkohol”. Tujuannya memperbaiki moral dan kesehatan umum serta mengurangi kriminalitas dan korupsi. Tetapi hasilnya ternyata sebaliknya, produksi dan konsumsi alkohol setelah beberapa waktu justru bertambah, tetapi sepenuhnya ilegal, sehingga kriminalitas turut membumbung tinggi, begitupun jumlah penduduk yang kesehatannya rusak. Tetapi akibat paling runyam: dalam periode prohibisi itu kelompok kriminal terorganisasi sempat mengkonsolidasi diri, mengeruk laba luarbiasa dari dagang alkohol, dan menimbun modal raksasa untuk lepas-landasnya mafia “Cosa Nostra” yang sampai sekarang tidak berhasil diberantas.

Sudah pasti, berbagai pelarangan terhadap pornografi, kecabulan dan kepelacuran tidak akan bisa meniadakan hukum “demand and supply” di bidang itu, melainkan sekadar mengubah sumber dan jalan distribusi. Yang paling untung dalam hal ini berbagai anasir kriminal yang cergas dan gesit menyediakan “bahan” seperlunya itu bagi “konsumen”-nya. Mereka akan mengeruk laba besar-besaran untuk kemudian memodali kegiatan kriminal yang lebih merusak, misalnya perdagangan narkotik dan penyogokan sementara pejabat.

Perlu dikhawatirkan, sejumlah produsen di dalam negeri akan bangkrut, yang untung malah produsen luar negeri. Ini pernah diuji pada awal dasawarsa 1960-an: Waktu itu ada usaha pemerintah melarang filem porno, begitupun apa yang dinamakan “musik ngak-ngik-ngok”. Tetapi ternyata di kamar belakang rumah pembesar lancar terus pertunjukan filem cabul yang malah lebih jorok lagi, yang diselundup masuk dari Hongkong, sedangkan lagu-lagu pop tetap laris terus. Maka kalau artis dan seniman Indonesia sekarang dikekang kemungkinannya “bertunjuk”, akan kalah saing dengan Bollywood, Hongkong, dll., jangan-jangan juga dengan rekaman tari perut dari Kairo atau Istanbul. Uang yang mestinya hinggap pada pelaku, produsen dan teknisi dalam negeri itu malah hanyut ke mancanegara.

Bersama itu moral umum bukannya membaik, malah lebih merosot karena produksi asing mustahil menaati segi-segi tertentu kepribadian bangsa Indonesia. Aparat negara yang seberapa kuatnya, bahkanpun yang kebal korupsi, tidak akan sanggup menjamin undang-undang ditaati. Dulu waktu Rusia masih negeri komunis, aparatnya yang begitu ketat sajapun tidak sanggup mencegah penduduknya menggemari musik dan pakaian barat. Tidak sekali saja saya sendiri menyaksikan pemudi memelacurkan diri kepada orang asing demi sepasang kaos kaki nylon.

Sesungguhnya, berbagai bentuk kesenian yang cabul itu sudah ada sepanjang sejarah, baik yang didatangkan dari luar (India, Kalifat Bagdad), maupun yang dari sumber pribumi. Akhir abad ke-16, musafir Eropa di Malaka terpesona oleh pantun Melayu yang penuh asmara berahi. Sampai abad ke-19 di pulau Jawa di daerah yang belum diatur administrasi kolonial pun beredar berbagai ragam sastra cabul. Tetapi dulu, lapisan elite ningrat yang punya akses kepada yang demikian itu relatif kecil, dan segalanya itu umumnya berwatak eksklusif dan tertutup. Baru dengan makin luasnya peran lapisan madani dalam kehidupan ekonomi di satu pihak, dan makin efektifnya teknik komunikasi dan fasilitas pemasaran moderen di pihak lain (yang semuanya sama menjadi faktor vital pembangunan nasional), maka persediaan berbagai rupa karangan, pelukisan dan pertunjukan yang merangsang itu terbuka untuk sorotan mata umum. Timbullah kesan bahwa jumlah dan macamnya tambah banyak, atau wataknya tambah sesat.

Tetapi kalau diperhatikan benar perbandingan antara jumlah oknum yang membaca/menonton dengan luas seluruh lingkungan yang punya akses, maka yang sekarang belum tentu lebih tinggi daripada yang dulu. Mungkin malah berkurang, karena hal yang terbuka dan tidak terlarang itu lambat laun membosankan. Malah yang dilarang itu yang membuat orang iseng tertarik. Lebih bahaya lagi akibatnya terhadap orang remaja. Anak yang tengah memasuki usia akil balig sudah alamiah kalau besar perhatiannya kepada soal kelamin, dan bersama itupun luarbiasa cergas mencari bahan yang bukan-bukan mengenai tema tersebut.

Dalam masyarakat tradisional, bahan itu cukup terbatas, dan proses pengenalan dengannyapun terkendalikan. Dalam dunia moderen dengan teknik komunikasi yang mutakhir ini, situasinya sudah lain. Dalam keadaan ini, penting sekali kalau proses pengenalan anak-anak dengan masalah itu sedapat mungkin terbuka, sehingga memberi kesempatan kepada orang tua, wali, guru, dan sebagainya untuk memberi bimbingan dan petuah seperlunya, dan menghalau ekses-ekses sesat. Larangan, bahkanpun secara undang-undang, pasti tidak mencegah anak-anak itu mendapatkan apa yang dicarinya. Hanya kita saja yang tidak tahu. Sekitar tahun 1960, sebelum ada internet sajapun, murid sekolah-sekolah bruder (Katolik) pada dilarang menonton filem Italia “La Dolce Vita”. Tetapi dari yang saya kenal, banyak yang sempat menyelusup masuk bioskop memelototi bintang filem Anita Ekberg yang tampil di filem itu. Belakangan semuanya besar menjadi orang beres, beristeri dan punya anak. Mungkin, di antara yang patuh karena kecut hatilah ada yang malah “tidak menjadi”.

Dipandang sepintas lalu, keadaan yang sekarang ini bisa mengkhawatirkan, dan orangpun bertanya: “Bagaimana dunia ini tidak sesat kalau orang bebas lantang berbuat cabul?” Sesungguhnya, tak beda dengan anak yang memelototi Anita Ekberg kemarin, masyarakat umumnya tabah budinya, tidak langsung rusak oleh beberapa tontonan nakal. Ada satu-dua yang menjadi korban. Kalau ada larangan undang-undangpun akan demikian, jumlahnya yang rusak bisa bahkan lebih besar.

Tetapi orang pun insaf, tidak seorang di antara semuanya itu bisa luput, pada satu saat berpulang, menghadap ke muka rahmat-Nya yang satu-satunya hakim mutlak sah dan adil, yang tidak bisa disogok dan tidak bisa ditipu. Penguasa duniawi tidak senonohnya mencoba mendahului-Nya, memperadili suatu masalah abstrak yang semata-mata berkaitan dengan moral dan hati nurani. Itu malah lebih banyak merusak.

Tanggal:  16 Pebruari 2006
Kepada: wahana-news@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com
Perihal: Fwd: Usulan Hak Pilih TNI Ditolak Wakil Ketua DPR (Y Rakhmat)
          > Usulan Hak Pilih TNI Ditolak Wakil Ketua DPR
           ...snip...
          > Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan, akan ada pengkotak-kotakan
          > jika TNI menggunakan hak pilih. "Nanti ada anggota TNI yang mendukung
          > partai A, atau mendukung partai B," katanya. Akibatnya, kata Soetarjo,

Memang demikianlah akibatnya, kalau tentara tetap bersikeras untuk memegang peran dalam kehidupan politik, ekonomi dan keamanan dalam negeri. Agar Indonesia bisa maju (seperti a.l. Tiongkok dan India), militer harus dipisahkan dari segala peran politik dan ekonomi dalam negeri, dan dikhususkan untuk pertahanan. Hanya dalam keadaan darurat boleh dipakai untuk keamanan dalam negeri (karena biasanya, itu tugas kepolisian), itu pun terutama misalnya dalam menghadapi musibah alam.

Kalau tentara tidak berperan politik dalam negeri, biar kotak-kotakan [afiliasi politiknya] sampai bagaimanapun juga, tidak akan apa-apa.

Kok sementara pemuka PDI-P bisa sampai merasa wajib menjadi pembela militarisme, sih? Nasionalisme Bung Karno, begitupun nasionalisme madani, itu sama-sama bersandar pada rasa kebangsaan penduduk luas (alias sipil). Tetapi lain daripada nasionalisme Indonesia terdahulu, adalah kekhususan watak daripada nasionalisme Soeharto dan "Orde Baru", bahwa yang ini berdasar kepada keunggulan militer dan ketaklukan penduduk kepada penguasa. Ini adalah tatanan prademokrasi, tatanan feodal. Kalau dibiarkan terus, akhirnya merosot kepada keadaan yang dalam agama Islam disebut tatanan jahiliah: siapa kuat militer, dia yang unggul (untuk sementara ... sampai saingannya sempat lebih kuat lagi).

Kalau kekompakan NKRI yang dulu-dulu itu berdasarkan nasionalisme gaya Sukarno yang menjadi akibat daripada watak bhineka tunggal ika penduduk Nusantara yang terwujud tanpa paksaan, maka dalam periode "Orde Baru", itu digantikan dengan pengertian NKRI yang berdasarkan keunggulan militer agar rakyat (dari Aceh sampai Papua) jangan berani berkutik.

Karena itu, usul saya kepada teman-teman PDI-P, campakkanlah pengertian nasionalisme militaris, kembalilah kepada pengertian nasionalisme Sukarnois, atau, mengingat bahwa sejarah itu maju dan berkembang terus, kepada satu watak nasionalisme yang madani (burgerlijk) seperti yang mendasari pengertian kenasionalan di negeri-negeri industri seperti di Amerika, Eropa, dsb.

Salam, Waruno

Tanggal:  3 Oktober 2005
Kepada: wahana-news@yahoogroups.com
Perihal: Fwd: Ketua MPR Nilai Pembom Bali Atheis (Putu Jayaningsih, 2 Oktober)
          > "Kami menolak jika pelaku peledakan bom itu lagi-lagi dituduhkan kepada umat Islam.
          > Itu tidak benar, Islam tidak mengajarkan ...
           ... snip ...
          > kata Ketua MPR Hidayat Nurwahid dalam "Tausiyah dan zikir akbar"
          > di Mesjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Minggu, bersama ...

Benar! dan saya bersyukur bahwa ada tokoh politik dari partai yang bercorak keagamaan dan keislaman yang berterus-terang seperti ini. Baik juga kalau para ulama, terutama lagi guru agama di sekolah (apalagi ustaz di pesantren), juga menyatakannya dengan tegas, bahwa pemboman itu, biarpun dengan kedok "mujahid", dalam kanyataan tidak lain daripada jahili!

Kalau tanahair diserang musuh bersenjata, terus pemuda membela kampung halaman dengan mengorbankan nyawa, maka itu boleh dinamakan berjihad. Tetapi kalau membunuh orang sipil yang tidak mengancam siapa-siapa, apalagi juga perempuan dan anak-anak, maka itu perbuatan petualang yang alamat akhir pelakunya tak lain daripada neraka, biar dalam agama apapun juga.

Khusus dalam agama Islam, perbedaan inilah yang paling hakiki. Karena hakekat pembaharuan yang didatangkan oleh Nabi Muhammad ke tanah Arabia itu ialah menanggulangi keadaan semula negeri itu yang dikhasiati saling berperang antara suku dan marga, rampok-merampok, pemegang kekuasaan silih berganti tergantung naik-turunnya neraca kekuatan militer masing-masing. Itu kemudian digantikan dengan keadaan bertatanan stabil berdasarkan pengakuan bersama akan peraturan-peraturan, sehingga tidak menyisakan alasan ataupun keperluan untuk saling serang-menyerang, bunuh- membunuh.

Keadaan yang lama itu oleh Nabi Muhammad dinamakan jahiliah, sedangkan tatanan baru itu dinamakan Islam, yang berarti damai. Maka dari itu, kalau ada sementara ustaz palsu membakar pemuda baik-baik untuk menjadi petualang seperti para pembom di Bali (yang dulu dan yang sekarang) atau Hotel Marriot, maka dia itu bukan guru agama, melainkan orang jahil (ignoran) yang ajarannya bertentangan 180 derajat dengan Islam. Begitulah intisari ajaran Nabi Muhammad: Islam bertolak belakang dengan jahiliah; orang Muslim berdamai, yang bunuh-bunuh itu jahili. Mestinya, ya, anak kecil pun bisa mengerti, bukan?

Salam damai,
Waruno

Tanggal:  26 Oktober 2002
Kepada: national@mail2.factsoft.de
Perihal: FW: INDONESIA DISERANG ! (Taqwa Sitepu, 23 Oktober)

Sdr. Taqwa Sitepu yth.,

sungguhpun si-penulis ini beritanya [... ...], pembantu rektor ke-[...] di [... ...], tapi rupanya mesti ada yang beri tahu, bahwa bagi seorang akademikus baiknya membaca dulu material yang ada, sebelum menyimpulkan yang bukan-bukan untuk umum dalam essay macam ini.

          > 11 September 2001 yang lalu. Beberapa jam setelah peristiwa itu, GW. Bush,
          > dan juga koran Amerika Serikat mengatakan bahwa: "USA under attack !",
          > kemudian segera mencari kambing hitam di luar USA: Osamah bin Laden dengan
          > jaringan Al Qaedah-nya.

Celaka bagi penggemar-penggemar mengambinghitamkan Amerika, adalah Usamah bin Ladin sendiri, dalam diskusi yang direkam video, yang mengakui peran dirinya serta al-Kaidah yang dipimpinnya itu dalam 11-S. Kemudian bahkan dibeberkan terang-terangan untuk umum lewat penyiar TV al-Jazirah. Jutaan penonton TV yang menyaksikan, terutama lagi yang beragama Islam di Timur Dekat. Lha Pak Pembantu Rektor ini kok malah bagaikan katak di bawah tempurung?

Sesungguhnya, kalau mau mencari kekurangan-kekurangan AS, apalagi sebelum berakhirnya perang dingin, itu tidak sulit, tidak usah mengada-ngada. Sedangkan kalau malah merasa perlu mengada-ngada, berarti sudah menganggap AS itu sedemikian sempurnanya, sehingga untuk menjelekkan terpaksa menipu. Dan siapakah yang ditipu ini? Tak lain, terutama umat sendiri.

          > ............................................................... Setiap
          > disinformasi akan diikuti oleh disinformasi berikutnya yang tidak akan
          > sustainable.

Bukan demikian yang paling celakanya, melainkan setiap disinformasi itu terutama menipu diri, membodoh-bodohi golongan sendiri. Senjata makan tuan. Masih untung kalau tidak sustainable, maka keadaan tertipu sendiri itu tidak sampai sutained.....
Kaum Muslimin Indonesia memang benar "dibodoh-bodohi" sebagiannya, tetapi bukan oleh George W. Bush atau pers AS, melainkan oleh sementara "guru-guru"-nya sendiri yang macam begini ini!

Sesungguhnya, kepresidenan George W. Bush waktu itu sedang kembang-kempis, kepastian pemilihannya tidak jelas, karena hasil hitungan suara di Florida yang menentukan pemilihannya itu banyak yang menyangsikan. Kalau Al Gore tidak cepat pasrah dengan hasil perhitungan demi menjaga kestabilan sistem kenegaraan, keadaan labil masih lama bertele-tele. Lepas dari itupun, ada golongan akademisi yang mulai hitung ulang jumlah suara di Florida itu.

Dalam kenyataan, 11-S itu tidak merugikan Presiden Bush, dan juga tidak memperlemah Amerika Serikat sebagaimana yang diharapkan oleh Usamah. Justru sebaliknya, kedudukan Presiden Bush menjadi mantap dan kokoh benar, sampaipun kelompok akademisi yang menggelar hitungan ulang tsb., setelah hasilnya diketahui, memutuskan tidak mengumumkannya agar tidak menggoyahkan kedudukan presiden saat keamanan nasional AS terancam. Secara internasional pun, dunia yang tengah ragu-ragu menghadapi penggantian Presiden Clinton yang umumnya dikagumi itu oleh Bush yang bercitra kekoboi-koboian, dengan serempak kompak berdiri dibelakang AS menghadapi teror internasional.

Sesungguhnya, kalau tidak begitu banyak korban mati, kita bisa kasihan kepada Si Usamah ini: maksud hati mengganyang Amerika, tetapi kehendak Allah ternyata malah sebaliknya dari itu. Tetapi Usamah tidak berhak minta kasihan, melainkan justru murid-muridnya yang tertipu oleh gurunya itu. Bersedia mengorbankan hal yang paling berharga, nyawa itu sendiri, demi satu tujuan yang disangkanya mulia. Tahunya, mati konyol sambil turut mematikan ribuan orang lain yang tidak bersalah. Padahal mereka bukan orang putus asa yang tinggal mencampakkan kehidupan yang tidak berhari-depan. Mereka itu orang-orang muda yang sempat berpendidikan dan menuntut keahlian di perguruan tinggi luarnegeri, temasuk tenaga harapan bagi pembangunan di negerinya masing-masing. Malah yang demikian inilah yang oleh Usamah itu diputar kepalanya untuk mencampakkan kehidupannya itu demi satu kepetualangan yang sesat dan jahat.

          > .................................................... Sasaran-sasaran yang
          > mustinya diserang oleh Al Qaedah adalah sasaran-sasaran kepentingan Amerika
          > Serikat di Indonesia seperti Exxon di Aceh, Freeport di Papua, dsb.,
          > bukannya Bali dan turis-turis Australia.

Siapa bilang? Apakah 11 September 2001 itu menyerang pusat filem porno di Los Angeles, atau pusat perjudian di Las Vegas? Tidak, melainkan justru menara kembar World Trade Center — satu pusat perniagaan dunia yang boleh diperkirakan penghuninya dari seluruh dunia, termasuk juga banyak tenagakerja Muslim alim-alim. North Tower: tingkat 60, Asahi Bank (Jepang); tk. 45, China Construction America (Tionghoa); tk. 37, Hyundai Securities (Korea). Eropa pun banyak yang kena: tk. 7, Deutsche Bank; South Tower: tk. 48, Allianz; tk. 37, Siemens; tk. 32 Commerzbank — Jerman semua; tk. 35, ABN-AmRo (Belanda). Jadi sekiranya bom di Jl. Legian itu benar pekerjaannya al-Kaidah, maka dari segi yang anda ajukan itu sudah cocok (kurang cocoknya malah dalam segi lain yang tidak anda singgung). Demikianlah kalibernya Si Usamah itu. Tak seyogyanya dibesar-besarkan, apalagi diagung-agungkan, melainkan mestinya dilaknat oleh segenap umat Islam sedunia.

          > "Tindak lanjut" berikutnya adalah kemarahan orang Australia, dan kepergian
          > orang-orang asing dari Indonesia akibat dianjurkan pergi meninggalkan
          > Indonesia karena Indonesia dianggap merupakan sarang teroris.

Salah. Kepergian banyak orang asing itu terutama karena aparat negara dilihatnya terlalu enggan menindaki kegiatan terror di Indonesia yang tidak sejak 12 Oktober ini saja.
Lain halnya dengan Malaysia, Singapura dan Filipina yang segera bertindak. Sedangkan apabila anda perhatikan di internet, banyak sekali tayangan orang Amerika dan Australia yang menyatakan kesetiaannya kepada Pulau Bali dan menyerukan agar orang jangan menyalahkan orang Bali yang mereka puji keramah-tamahannya itu.

          > ............................................ Persoalannya adalah : kita
          > -termasuk elite negeri ini - mau memilih teori "serangan teroris", atau
          > "Indonesia diserang!".

Mengapa harus memilih? Seruan "America is under attack!" kemarin itupun tidak dipertentangkan dengan penilaian "this is an act of terror". Kejadian seperti pemasangan bom di jalan Legian itu memang satu perbuatan teroris, dan sekaligus itu memang satu serangan melawan Indonesia! Biar bagaimana pun, tetap harus kita buru habis-habisan teroris yang menyerang Indonesia itu sampai tertangkap, dan menghukumnya. Tak soal, teroris itu apa agamanya dan kebangsaannya.

          > .............................................. para backpackers bersandal
          > jepit di Kuta yang tewas akibat Bom Legian tersebut bagi master mind perang
          > persepsi ini adalah besaran yang disposable (tidak berarti untuk
          > dimusnahkan), dibandingkan kepentingan mereka untuk menghancurkan bangsa
          > ini.

Sinis benar, anda ini. Menuduh orang lain mendakwa tanpa alasan, padahal udang yang di balik batunya itu rupanya mencari kesempatan mendakwa orang lain dengan nol bukti!
Setiap pembaca yang sedikit berpikir akan sadar, bahwa yang sejak tiga tahun asyik berkonspirasi menghancurkan bangsa Indonesia itu justrulah oknum-oknum yang mengobarkan teror dan kekerasan SARA di setiap seluk Nusantara. Sedangkan Australia, Amerika Serikat, dan Eropa sudah kewalahan benar, bagaimana menghimbau aparat negara negeri ini untuk sudilah kiranya sedikit berupaya sungguh-sungguh untuk menjamin sekadar ketrampilan, agar sekurang-kurangnya tanaman modal mereka di negeri ini bisa beroperasi sedikit banyak stabil, mendatangkan devisa dan mata pencaharian serta meningkatkan ekspor di satu pihak, dan mengeruk laba di pihak lain.....

Bom di Bali itu sangat merugikan mereka, tetapi mungkin menguntungkan oknum-oknum yang sudah bertahun-tahun ini mendestabilisasi kehidupan masyarakat di Indonesia, mungkin dengan perhitungan memulihkan kembali tatanan Orde Baru. Lha anda sendiri, sampai menulis essay macam ini...? Apakah benar — walaupun bergelar akademis — kurang berpengetahuan umum, ataukah sebenarnya karena juga menyimpan udang di balik batu seperti itu? Terus terang saja dong....

Wassalam,
Waruno Mahdi


 
Tanggal:  3 November 2002
Kepada: [... ...]
Perihal: Re: FW: INDONESIA DISERANG ! ([... ...], 1 November)

Sdr. [... ...] yth.,

Terimakasih untuk jawaban Anda, dan maaf kalau memakan terlalu banyak waktu. Komentar saya atas tulisan Anda yang dilanjutkan ke beberapa milis itu saya juga alamatkan salinan kepada Anda sebagai kejujuran elementer saja.

          > internasional. Baiklah saya anjurkan Anda untuk memberanikan
          > diri membaca artikel alternatif seperti oleh John Pilger (lihat

Taks usah khawatir, tulisan-tulisan alternatif, termasuk yang dari John Pilger yang sangat saya hormati, begitupun dari Harold Crouch, dll., saya baca. Saya sendiripun pernah menulis yang alternatif.

Yang saya persoalkan pada tulisan anda itu bukan alternatifnya, melainkan versi mula yang diada-adakan, demi untuk menciptakan "alternatif": satu alternatif terhadap suatu hal maya yang tidak ada. Soalnya, versi "ortodoks" yang anda (dan banyak yang lain) tuduhkan kepada Amerika Serikat itu sebenarnya tidak seperti anda lukiskan itu. Cara-cara demikian (sayangnya) relatif lumrah bagi tokoh-tokoh politik, dan bahkan juga (lebih sayang lagi) bagi kalangan tertentu wartawan, tetapi jelas tidak senonoh bagi karyawan perguruan tinggi.

          > sederhana : atas fakta yang sama kita boleh membuat
          > hipotesis yang berbeda, dengan segala konsekuensi verifikasinya.

Ya toh, "atas FAKTA yang sama". Lain halnya kalau atas isapan jempol yang bukan fakta. Seperti bahwa AS "mencari kambing hitam di luar USA: Osamah bin Laden", padahal sudah pengetahuan umum bahwa Usamah itu sendiri mengaku dan bahkan membangga-banggakan. Yang demikian ini hanya berkonskuensi membodoh-bodohi umat sendiri di Indonesia.

Kakek saya almarhum dulu juga anggota Muhammadiah. Sekiranya masih hidup pasti terperanjat melihat wahana Islam modernis ini kini mempeluangkan propagasi ignoransi yang demikian.

Saya tidak mengharuskan orang untuk senang kepada Amerika Serikat. Itu terserah setiap orang mau bagaimana. Yang saya harapkan hanya kejujuran menyatakan perbuatan seperti 11-S dan pemboman di Bali itu kejahatan pidana yang perlu dilaknat, dan pelakunya kiranya masuk neraka. Tentang siapa itu kongkritnya yang melakukan di Bali, moga-moga tidak usah tunggu 10-20 tahun untuk mengetahuinya (ttg. yang di NY, dalangnya sudah mengaku, kok).

Wassalam, Waruno Mahdi

          > Kita bersama-sama akan melihat,dalam rentang waktu 10-20 tahun ke depan,
          > kitayang mungkin masih hidup, mana teori yang benar.

 

Tambahan belakangan: Seminggu-dua minggu kemudian, Usamah bin Ladin sendiri memuji-muji pemboman di Bali itu dalam satu ucapan yang disiarkan oleh TV al-Jazirah. Artinya, sungguhpun bukan al-Kaidah yang melakukan pemboman, tapi mengetahui siapa itu, dan mamandangnya sebagai kawan atau sekutunya.

Tanggal:  24 Oktober 2002
Kepada: national@mail2.factsoft.de
Perihal: 001 cara Kristenisasi... Yesus & Bin Laden (Olga Sylvie, 23 Oktober)
          > saya lalu mempunyai "mixed feelings" dengan pembandingan sertai
          > mengulas persamaan, dan juga perbedaan, antara Jesus
          > Christ dan Osamah.
          >
          > Karena itu saya serahkan saja pada netters yang lain, yang kiranya lebih
          > faham mengenai soal ini, untuk sekiranya memberikan koment.

Menurut saya, kedua itu tidak ada persamaannya, melainkan bertolak belakang penuh.

Yesus sejak semula tidak pernah kaya, dan kemudian bahkan mengusir pedagang dari rumah ibadah. Gautama memang anak raja, tapi untuk mencapai nirwana maka terlebih dahulu mencampakkan segala kekayaan duniawi serta segi-segi hidup menak lainnya. Muhammad, walaupun asal dari marga Kuraisyi yang makmur berniaga, tapi juga tidak segan-segan menanggalkan segala ciri kemewahan dalam kehidupannya untuk mengabdi kepada tugas pencerahan masyarakat yang diperolehnya lewat malaikat.

Dalam ketiga contoh ini, wahana pokok penyebaran keyakinan yang baru dan pengorganisasian komunitas umat itu adalah keyakinan, sedangkan soal dana tidak memegang peran yang berarti.

Dalam hal Usamah, masalahnya berkebalikan penuh dengan itu. Dia anak orang kaya raya, yang menggunakan kekayaan yang telah diperolehnya itu untuk mendanai segala kegiatan organisasi al-Kaida yang telah ditegakkannya. Watak inti daripada pengorganisasian al-Kaida ini bukan agama — itu sekadar dekorasi. Watak intinya itu logistik: logistik pembagian dana; logistik pengumpulan dan pengonsentrasian senjata, mesiu, bahan peledak, begitupun alat komunikasi; logistik pelatihan militer dan pengajaran kader lainnya — umpamanya belajar mengemudi pesawat terbang menjelang 11-S kemarin. Untuk segala sesuatu itu pertama-tama diperlukan UANG. Maka fungsionalitas organisasi al-Kaida itu pertama-tama berwujud kefasihan menyediakan dana.

Sedangkan keyakinan paling-paling dipergunakan sebagai alat: alat untuk brainwashing orang-orang yang bermaksud beramal, yang ditipu untuk mengerahkan kesediaan beramal itu untuk membunuh ratusan ataupun ribuan orang tak bersalah. Perlu ditandaskan bahwa "kemenangan" al-Kaida yang tercatat sampai sekarang, dan dipuji-pujinya secara terang-terangan dalam TV al-Jasirah, adalah pembunuhan ribuan orang awam pada 11-S itu. Tujuan organisasinya itu, yang menjadi motif pokok pengeluaran dana berlimpah-limpah itu, memang bukan untuk mencerahkan keyakinan orang, melainkan untuk membunuh orang banyak!

Jadi jelas benar, Usamah itu bertolak belakang 180 derajat dengan yang seperti Gautama, Yesus, atau Muhammad.

Tentu kita jangan sampai mengira, penyalahgunaan agama seperti yang dilakukan oleh Usamah ini unik dalam sejarah, atau pun bahwa hanya agama Islam saja yang pernah berhasil dipergunakan untuk itu. Pada periode perang-perang salib, begitupun dalam kegiatan zending abad ke-16 dan ke-17, agama Kristenlah yang pernah disalahgunakan untuk tujuan politik. Khususnya zending waktu itu diperalat untuk tujuan kolonialis. Baik yang Katolik (di Amerika Tengah dan Selatan), Begitupun yang Protestan (di Taiwan), melakukan pembunuhan-pembunuhan dan kekejaman lain yang amat mengerikan. Maka sebagaimana itu semua tidak dapat dipakai untuk menjelekkan agama Kristen, begitupun kegiatan al-Kaida dan teroris berkedok Islam lainnya itu tidak dapat menodai citra agama Islam.

Dalam hal ini, pengarahan dana dalam kegiatan al-Kaida itu penting sekali diperhatikan: pendanaan tindakan teror yang menghasilkan kematian orang banyak. Mengapa pentingnya: pendanaan juga merupakan faktor penting dalam kegiatan macam-macam yayasan LSM, khususnya juga yayasan yang berbaju agama ini atau itu (ada yang Kristen, ada juga yang Islam, dan agama lain). Pengarahan dana ini terutama untuk memenuhi kebutuhan orang yang menderita berbagai kekurangan, sedangkan amal pekerja-pekerja yayasan itu bukan membunuh orang, melainkan mengobati penyakit dan memberi bantuan lain, atau menampung kafir miskin atau yatim-piatu. Jadi, saya pikir, tidak saja sesat benar kalau menyamakan Usamah dengan Yesus atau Muhammad, tapi juga kalau menyamakan al-Kaida dengan yayasan atau LSM yang berbaju agama itu.

Salam, Waruno

Tanggal:  18 Oktober 2002
Kepada: national@mail2.factsoft.de
Perihal: haram babi haram (“Ambon”, 18 Oktober)
          > kemungkinan besar dalam waktu yang tidak lama lagi babi bisa dimanipulasi
          > gennya untuk menjadi donator organ buat manuisa. Artinya bahagian badan
           ... snip ...
          > ahli-ahli genetik, dikatakan bahwa gen dari semua binatang yang paling baik
          > adalah babi untuk manusia.

sesungguhnya, dilema dasar yang dipersoalkan disini tidak baru. Tetapi dulu tidak pernah disadari, sehingga tidak begitu diisyukan. Zaman sekarang, sikat gosokgigi umumnya buatan plastik. Tetapi dulu, dalam zaman pra-plastik, bahan yang paling jitu untuk dibuatkan sikat itu bulu celeng. Saya yakin, di masa sebelum Perang Dunia II, di seluruh dunia beribu-ribu orang Islam pernah gosok gigi tanpa menyadari bahwa sikat yang dipakainya itu mungkin terbuat dari bulu celeng.

Sesungguhnya, yang dilarang itu memakan daging babi. Penggunaan bulu celeng untuk sikat gosokgigi setahu saya oleh Nabi Muhammad SAW tak pernah dinyatakan haram. Begitupun penumbuhan lembaga badan manusiawi dalam tubuh hidup seekor babi tak ada satu ayat Kuran pun yang menyatakannya najis atau haram. Wong manipulasi genetik terhadap lembaga badan yang ditanamkan di tubuh babi itu justru akan membuatnya tidak berwatak asli babi, melainkan serasi dengan tubuh manusia. Mungkin, kalau tidak dikerjakan gennya, diambil organ asli badan babi, malah melanggar, karena bisa direken "memakan" daging babi, walaupun bukan lewat mulut melainkan langsung lewat luka bedahan.

Tetapi, di setiap umat suatu agama, pasti ada sebagian oknum yang merasa belum afdal kalau sekadar menaati ketetapan-ketetapan yang ada, melainkan merasa perlu pamer iman, menunjukkan diri lebih saleh daripada yang lain, maka menambah-nambah. Larangan agama yang ada itu dianggapnya belum cukup ketat, dibuat-buatnyalah yang lebih ketat lagi. Dikiranya, dengan demikian dirinya telah lebih saleh daripada yang lain. Tetapi sesungguhnya justru berkebalikan dari itu. Karena, kalau itu orang Islam, berartilah Nabi Muhammad dianggapnya kurang saleh; kalau itu Kristen, dianggapnya Yesus kurang suci; kalau itu orang Buddha, dianggapnya Gautama belum mencapai nirwana; dan seterusnya. Karena pemuka-pemuka agama tersebut tidak seketat itu merumuskan-nya.

Celakanya, kalau di kalangan umat bersangkutan cukup banyak orang yang kurang bersekolah, maka banyak yang silau, tertipu oleh kesalehan semu ini, malah mengira yang demikian inilah justru agama sesungguhnya. Misalnya, di Eropa sini ada sekelompok orang Kristen yang berkeyakinan bahwa vaksinasi untuk kebal terhadap penyakit tularan itu haram. Gurunya dulu pernah mengajar, bahwa penyakit itu sudah ditakdirkan oleh Tuhan, maka pencegahannya dengan vaksinasi itu berarti menantang Tuhan. Kalau mereka bersekolah sedikit, mungkin sadar bahwa kemanjuran segala perobatan seberapa mujarab dan mutakhirnya pun masuk dalam cakupan daulat Yang Mahakuasa, maka, kalau benar percaya kepada Tuhan, tidak sampai menuruti ajaran guru mereka yang sesat itu.

Tetapi, bagaimanapun juga, menghadapi ignoransi demikian itu tidak boleh dengan sikap mencemoohkan, karena kalaupun orang itu sampai tertipu karena kurang bersekolah, maka belum tentu karena salahnya sendiri. Terutama di Indonesia, jutaan anak tidak bisa bersekolah, sedangkan yang bisa pun belum tentu mendapat persekolahan yang memadai. Tidak mengherankan, kalau banyak yang tertipu.

Khususnya penjaja pseudo-agama Islam semu yang bercorak kekerasan itu sungguh bertolak belakang dengan agama Islam yang asli. Paling-paling menyerupai gambaran semu tentang umat Islam yang dilukiskan oleh lawannya sebagai semacam lasykar ganas yang haus darah. Dalam kenyataan, adalah corak inti daripada ajaran Nabi Muhammad SAW, justru menanggulangi tatanan jahiliah di Arabia yang berdasarkan kekerasan dan silih berganti saling serang-menyerang, bunuh-membunuh itu, demi membangun satu tatanan bertamadun dalam satu kenegaraan kesatuan yang berhukum. Dan itupun, sebagaimana kita ketahui dari sejarah, beliau berhasil.

Nah di Indonesia pun, aspirasi gerakan Reformasi agar tegaknya negara hukum yang rukun dan damai, dan bukan sebagai sasaran kekerasan senjata, itu kongruen sepenuhnya dengan tujuan Nabi Muhammad tersebut (dan begitupun dengan tujuan agama-agama lain). Sedangkan macam-macam gerombolan yang bahkan membakar perpecahan dan kekerasan antar-umat di pelbagai daerah di Indonesia itu menyalahi asas paling dasar baik dalam agama Islam, maupun dalam agama Kristen, Buddha, dll.

Salam,
Waruno


© Waruno Mahdi.

KEMBALI